Sabtu, 24 Desember 2011

Riba dalam al-Qur’an dan Perspektif Pemikiran Ulama



Istilah riba sudah sejak lama dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat sebelum turunnya perintah al-Qur’an dan Hadis yang ditujukan kepada umat Islam sebagai tujuan terciptanya kesejahteraan dalam kehidupan ekonomi mereka. Melakukan kegiatan ekonomi adalah tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. al-Qur’an dan Hadis adalah pedoman bagi manusia dalam melakukan segala kegiatan ekonomi mereka yang di dalamnya juga memuat berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang tidak dibenarkan seperti pengambilan riba. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang serakah ingin memuaskan kesejahteraan ekonominya[1] tanpa menghiraukan lingkungan sekitar tereksploitasi sehingga tujuan terciptanya sebuah masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebaikan (al-adl wal ihsan) menjadi terhambat.[2]
Semua ajaran agama melarang mempraktikkan pengambilan riba. Di antara ajaran agama yang melarang konsep riba tersebut adalah pertama agama Yahudi. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. “Janganlah engkau mengambil riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta riba, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba pula.” (Kitab Levicetus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37. Kedua,agama Kristen yang pernyataannya dituangkan dalam Lukas 6: 34-35 yang berbunyi: “Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmudan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Tak terkecuali dari kedua ajaran agama samawi tersebut, dalam ajaran Islam pun riba disebutkan di beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat al-Rum: 39, surat al-Nisa’: 160-161, surat Ali Imran: 130, dan surat al-Baqarah: 275-280. Namun setelah terjadi evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan seperti perbankan yang pada umumnya digunakan untuk kebutuhan modal dalam rangka membiayai kegiatan usaha, maka kemudian menimbulkan berbagai kontroversi hukum pengambilan bunga di sebuah lembaga keuangan yang disinyalir demi memenuhi biaya administrasi, jaminan keamanan, kemungkinan merosotnya daya beli uang baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran.[3]
Selain itu juga yang menjadi kontroversial dalam masalah hukum riba ini adalah pernyataan al-Qur’an yang bersifat global dalam menerangkan definisi riba sehingga memunculkan banyak penafsiran di kalangan pemikir Islam begitu pula dengan pemikir orientalis yang notebene riba dikaitkan dengan bunga bank yang merupakan bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18. Karenanya, kontroversi tentang hukum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20.
Sebagai finacial intermediary, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga.
Berdasarkan latar belakang permasalahan riba ini, maka hubungannya adalah berkaitan erat dengan: bagaimanakah pendapat dari berbagai kalangan pemikir tentang riba sebagai hasil dari penafsiran mereka memahami ayat yang menjelaskan tentang riba tersebut? Apa yang mendasari pendapat mereka jika dihubungkan dengan sendi-sendi perekonomian? Dan adakah implikasi yang ditimbulkan oleh pengambilan riba?
Riba dalam al-Qur’an
Istilah riba digunakan dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali.[4] Secara bahasa riba bermakna tambahan (az-ziyadah), tumbuh (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw).[5] Di dalam al-Qur’an term riba dapat dipahami dalam delapan macam makna, yaitu: pertumbuhan (growing),[6] peningkatan (increasing),[7] bertambah (swelling),[8] meningkat (rising),[9] menjadi besar (being big),[10] dan besar (great),[11] dan juga digunakan dalam pengertian bukit kecil (hillock).[12] Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna, namundapat diambil satu pengertian meningkatnya (increase) modal pokok pinjaman, baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya,[13] sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang disyaratkan.[14]  
            Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba di sini adalah “pemberiaan” (gift).[15] Berdasarkan interpretasi ini, Azhari (w. 370 H/ 980 M) dan Ibnu Mmansur (w. 711 H/ 1311 M) menjelaskan riba terdiri dar dua bentuk, yaitu riba yang dilarang dan riba yang dibolehkan (leal) menurut hukum.[16] Menurut Ibnu Mansur, maksud riba yang sah menurut hukum[17] adalah menyangkut yang setiap pemberian seseorang terhadap orang lain yang dilakukan hanya untuk mengharapkan sesuatu yang lebih baik pada waktu yang mendatang (di akhirat kelak). Interpretasi yang demikian agaknya menimbulkan problematik, karena seluruh pemakaian istilah riba dalam al-Qu’an tampak mempunyai makna yang sama, yaitu mengenai pembebanan utang terhadap nilai pokok yang dipinjamkan kepada peminjam (debitur) ketika tidak mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditentukan. Istilah riba yang diartikan dengan arti “pemberian” (gift) tidak tampak pada masa sebelum Islam maupun setelah datangnya Islam. Baik Azhari maupun Ibnu Mansur tampaknya tampaknya tidak mendapatkan contoh konkrit terhadap pemakaian istilah riba digunakan dalam makna “pemberian” (gift).
            Dalam al-Qur’an larangan pengambilan riba termaktub dalam empat surat yang didasarkan tahapan-tahapan pengharamannya. Penjelasan mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Riba dalam Pola Pentahapan dan Asbabun Nuzul
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap, yakni yang secara berurutan dimulai surat Ar-Rum ayat 39, surat An-Nisa’ ayat 160-161, surat Ali Imran ayat 130, dan terakhir surat Al-Baqarah ayat 278-279.[18]
1.      Ar- Rum, 30: 39

وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم المضعفون

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.
2.      An-Nisa’, 4 : 160 – 161

فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم عن سبيل الله كثيراَ* واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ
                                        
“Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba.[19] Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai kabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid al-Muqri dari Yahya ibn Uyainah dari Amr ibn Ash).[20]
Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang Yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang Yahudi.
3.      Ali Imron, 3: 130

يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا الله لعّلكم تفلحون

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan.”


Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu
Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid). Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’).[21]
4.      Al-Baqarah : 278 – 279.

يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan).”

Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekkah Itab bin Usaid setelah terbukanya Kota Mekkah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Di dalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba.[22]
Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama
Kontroversi mengenai riba ini merujuk pada keumumaman definisi yang dinyatakan beberapa ayat al-Qur’an dan ketika dikaitkan pula dengan bunga dalam lembaga perbankan. Dari permasalahan tersebut Anwar Iqbal Qureshi mennyatakan dalam bukunya, Islam and the Theory of the Interest, “Apabila teori-teori dalam al-Qur’an bertentangan dengan teori-teori keilmuan modern, menurut hati nurani saya, saya tidak menemukan alasan untuk mempermasalahkannya. Saya benar-benar yakin bahwa keilmuan pada masa sekarang ini bisa jadi menjadi sebuah mitologi di masa yang akan datang, dan segala yang dikatakan dalam al-Qur’an belum bisa kita mengerti masa sekarang, tetapi pasti dapat menjadi lebih jelas di masa yang akan datang.”[23]
            Menurut Edward Mortimer yang dikutip oleh Abdullah Warde bahwa yang menjadi dasar dan sudah berkembang baik di dalam praktik dan kebiasaan para ulama modernis –seperti Fazlur Rahman— dalam mengambil keputusan tentang bunga, yakni dikarenakan keadaan darurat (darurah) dan kepentingan umum (maslahah).[24]    
            Hal senada juga dilontarkan oleh ulama kontemporer tentang isu inflasioner. Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli uang atau decresing purchasing power or money. Oleh karena itu, menurut paham ini, pengambil bunga uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.[25]
            Muhammad Said al-Ashmawi memberikan tiga argumentasi untuk menunjukkan bahwa larangan terhadap bunga merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Pertama, riba yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah riba jahilliyah, yang mengacu pada praktik umum masa sebelum Islam dengan menggandakan modal sebagai kompensasi keterlambatan melebihi waktu yang ditentukan sehingga mengakibatkan perbudakan debitur, jika akhirnya debitur tidak bisa membayarnya. Kedua, riba –berdasarkan Hadis— terdiri dari ‘enam komoditas’,[26] dan seharusnya hanya berlaku pada enam komoditas ini dan tidak mengarah pada mata uang modern. Ketiga, harus dibedakan dengan pinjaman produktif, seperti yang digunakan oleh institusi dan bisnis dalam rangka berinvestasi dan menghasilkan laba, dan pinjaman yang eksploitatif, seperti pinjaman yang ditawarkan kepada orang miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.[27]
Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M) sependapat dengan pernyataan Muhammad Said al-Ashmawi. Ridha yang dikenal sebagai murid Muhammad Abduh (w. 1905 M), menyatakan bahwa dalam term riba terdapat elemen “almenunjukkan adanya indikasi pengetahuan (knowlegde/ ma’rifat) dan kelaziman atau kebiasaan (familiarity/ urf). Maksudnya, janganlah mengkonsumsi riba yang sudah lazim bagimu, yang dipraktikkan pada masa pra-Islam.[28]
  Selain pernyataan di atas ia juga menyebutkan riba jahilliyah dilarang karena menimbulkan ketidakadilan dan mengeksploitasi berbagai kebutuhan (yang bernilai konsumtif).[29] Dengan pendapat seperti ini, Ridha rupanya menyimpulkan bahwa riba yang dilarang adalah riba atau bunga yang memiliki nilai yang berlipat ganda (sesuai dengan surat Ali Imran ayat 130) dan tidak pada bunga yang sifatnya kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Thabari yang menafsirkan bahwa riba yang dilarang adalah riba yang jumlah peningkatannya sebesar nilai kapitalnya, yang disebabkan karena telah melampaui batas tempo peminjaman dan menunda untuk melakukan pembayaran kembali pinjamannya.[30]
Menurut golongan Hanafiyah menyatakan bahwa riba yang dilarang hanya berlaku pada transaksi jual beli bukan pinjaman. Pendapat ini berdalil pada Hadis yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam masalah qardh, seperti Hadis:
خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”

Alasan lain yang dikemukakan oleh Ibrahim Hosen tentang bolehnya mengambil bunga khususnya dalam sebuah lembaga keuangan adalah institusi tersebutbtidak masuk dalam kategori mukallaf karena tidak terkena khitab  ayat-ayat dan hadis-hadis riba.
Penjelasan di atas dalam bagian ini, semuanya menerangkan pendapat-pendapat ulama yang membenarkan riba atau bunga bank. Berikut ini akan dijelaskan berbagai pendapat dari ulama-ulama yang mengharamkan riba, yang semuanya menggunakan metode content anlysis dengan pendekatan mencari ‘illat’ atau akar masalah.
Sesuai dengan teks al-Qur’an tentang riba dari keempat surat yang telah dipaparkan sebelumnya, telah dapat dipahami bahwa ulama melihat riba berdasarkan ketetapan ayat
 فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan).” Mahfum mukhalafah ayat ini adalah bahwa jika riba tidak dihindari, maka akan mengakibatkan keteraniayaan (eksploitasi/ zulm) karena adanya pembebanan tambahan (ad’afan muda’afah) dari hutang pokok bagi pemberi riba dan monopoli modal bagi pengambil riba. Illat yang berikan ulama dalam versi ini didukung kuat oleh pengulangan kosa kata riba dalam al-Qur’an yang dapat diartikan taqyid (pengokohan) dan riba dihadapkan dengan sedekah (zakat).[31] Hal ini sesuai dengan kaidah “mendatangkan maslahat menolak mudarat, jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid” dan kaidah “semua larangan pada dasarnya adalah haram.” Seperti Abd al-Hamid al-Gazzali menyatakan, bunga (riba) membuat perekonomian rentan terhadap berbagai penyakit. Ini mengarah ke eksploitasi, hilangnya produksi, sumber daya, dan berakhir dengan meningkatkan masalah ekonomi.[32]
Dari berbagai pendapat yang membenarkan pengambilan riba yang telah dijelaskan di atas, maka ulama yang berpendapat sebaliknya –yaitu riba atau bunga itu haram— menjawab dengan argumentasi, bahwa pertama, riba diperbolehkan karena darurat atau untuk kemaslahatan. Hal itu tidak dibenarkan karena darurat memiliki batas yang disesuaikan dengan kadarnya, yakni jika seseorang tidak segera melakukan suatu tindakan dengan cepat akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.
Kedua, mengurangi inflasi, dan ketiga, pinjaman produktif akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Keempat, riba jahilliyah, yaitu riba dalam utang piutang.
Misalnya, seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut (istilahnya: engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah).
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam meminjam, mereka mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.
Hal ini tidak dibenarkan karena ayat yang menjelaskan tentang riba jahiliyah ini sebenarnya meliputi segala bentuk tambahan yang memang disebabkan ‘illat’ riba atau bunga diharamkan. Bentuk tambahan (peningkatan) jumlah utang inilah yang akan menjadi tanggungan debitur apabila tidak dapat mengembalikan utangnya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Setiap tambahan utang atau pinjaman akan bertambah berdasarkan pada tempo utang yang disetujui. Dengan demikian, peningkatan jumlah utang terjadi setelah adanya perjanjian tentang telah disetujuinya masa jatuh tempodan pihak debitur tidak mampu melaksakannya.
Kelima, enam komoditas yang disebut hadis. Ziyadah (tambahan) yang dipersyaratkan dalam akad utang-piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan dirham/perak,) serta yang serupa dengan keduanya yang memiliki fungsi sebagai alat pembayaran seperti uang kertas, memang tidak dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya disebutkan dalam Sunnah.
Keenam, makna “al” dalam term riba. Kalaulah dianggap alif dan lam atau “al” yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni Rabb kita menyebutkan (dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka Sunnah telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat al-Qur`an). Sehingga lafaz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara mereka ada yang mengatakan, “Riba adalah lafaz yang global, penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”
Ketujuh, riba hanya untuk transaksi jual beli tidak dalam pinjaman. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang di dalamnya ada penggantian. Maka jawabannya adalah para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya, namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu pengganti, yang berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun pernyataan mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan manfaat dan berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah meminta penggantian. Adanya syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli, bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh (pinjaman) hanyalah dilakukan untuk tujuan berbuat baik dan memberi manfaat bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.
Delapan, lembaga keuangan yang tidak menerima khitab riba dalam ayat dan hadis riba. Pernyataan ini tidaklah benar, bahwa zaman pra-Rasulullah (seperti di Romawi, Persia, dan Yunani) tidak ada “badan hukum”” sama sekali. Dan dalam tradisi hukum, badan hukum hukum atau perseroan sering disebut juridical personility atau syakshiyah ummiyah, yang secara hukum sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dari paparan panjang mengenai riba jahilliyah, maka riba ini dapat dispesifikasikan kembali menjadi dua bagian, yaitu riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko dan hasil usaha muncul bersama biaya. Sedangkan riba fadl adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahannya.[33]
Ada beberapa prinsip-prinsip dasar yang diperoleh secara klasik dalam larangan pengambilan riba,[34] yaitu: Ekuivalensi matematis,[35] mencegah eksploitasi dagang,[36] meminimalkan perdagangan dalam bentuk uang dan bahan makanan,[37] mengaitkan keabsahan keuntungan dengan pengambilan risiko,[38] dan menggunakan uang dan pasar untuk menentukan dan memperkecil risiko.[39]
Penjelasan-penjelasan mengenai pendapat-pendapat yang membenarkan pengambilan riba atau bunga oleh para ulama Islam telah tuntas dibahas pada bagian sebelumnya. Sekarang penulis akan menjelaskan tentang beberapa teori klasik pembenaran bunga yang dilakukan dalam transaksi perbankan,[40] yaitu: pertama, teori abstinence. Teori ini menganggap bunga adalah peminjam menahan diri selagi ia meminjamkan uangnya kepada orang lain sehingga yang dikorbankan adalah menunda suatu kepuasan si peminjam tersebut. Kelemahan teori ini adalah pemberi pinjaman hanya akan meminjamkan uang berlebihan dari yang ia perlukan; dan tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan konsumsi, dan kalau ada tidak dapat menetukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak.
Kedua, teori bunga sebagai imbalan sewa. Menurut teori ini uang dianggap sebagai barang yang menghasilkan keuntungan. Kelemahan teori ini adalah sesungguhnya uang tidak bisa disamakan dengan barang yang membutuhkan perawatan dan nilainya cenderung menyusut, nilai dan sifat uang akan sama dengan barang apabila nilai uang itu stabil, dan sulit memperhitungkan besarnya sewa uang yang dikenakan kepada orang lain dan bisa pula dikatakan mengingkari aspek kemanusiaan.
Ketiga, teori produktif-konsumtif. Teori ini menyatakan bawa uang yang dipinjamkan memiliki keuntungan yang bernilai produktif dan konsumtif  bagi peminjamnya. Kelemahan teori ini adalah setiap pinjaman memiliki kemungkinan kerugian di sisi lain keuntungan, dan keuntungan peminjam tidak dapat dijamin selalu sama dari waktu ke waktunya.
Keempat, teori opportunity cost. Teori ini menganggap bahwa pemberi pinjaman merasa kehilangan waktu yang memiliki harga yang terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu itu. Lelemahan teori ini terletak pada waktu tidak bisa dijadikan dasar bagi peminjam untuk keuntungan usahanya tetapi dengan kerja keras keuntungan dapat dihasilkan, selain pengaruh waktu berbeda-beda dalam bidang usaha.
Kelima, teori kemutlakan produktivitas. Teori beranggapan bahwa: pertama, modal mempunyai kesanggupan sebagai alat dalam memproduksi. Kedua, modal mempunyai kekuatan-kekuatan untuk menghasilkan barang-barang dalam jumlah yang lebih besar dari apa yang bisa dihasilkan tanpa modal. Ketiga, modal sanggup menghasilkan benda-benda yang lebih berhargadaripada yang dihasilkan tanpa memakai modal. Keempat, modal sanggup menghasilkan nilai yang lebih besar dari nilai modal itu sendiri. Adapun kelemahan teori ini ialah modal akan berfungsi berfungsi baik bila ada dukungan faktor produksi lain, seperti profesionalisme,pengembangan teknologi, luasnya industri dan lain-lain. Selain kondisi soial-politik juga mempengaruhi keektifan modal dalam mempengaruhi optimalisasi produksi.
Keenam, teori nilai uang pada masa datang lebih rendah. Teori ini menganggapbunga sebagai selisihnilai (agio)yang diperoleh dari barang-barang pada masa sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di waktu akan datang. Alasannya adalah keuntungan di masa akan datang diragukan, kepuasan kehendak di masa kini lebih bernilai, dan kenyataan barang-barang di masa kini lebih penting dan berguna. Kelemahan teori ini ialah mayoritas orang tidak membelajakan pendapatannya di masa sekarang (lebih cenderung ditabung) untuk memenuhi keinginannya di masa akan datang. Selain itu, hasil nyata dari optimalisasi waktu tergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas sosial dan politik, dan lain-lain.
Ketujuh, teori inflasi. Ialah peningkatan harga barang dan penurunan daya beli uang. Kelemahan pendapat ini adalah argumentasi tersebut sangat tepat seandainya dalam dunia ekonomi yang terjadi hanyalah inflasi saja tanpa ada deflasi[41] atau stabilitas di samping tidak akan menutup kemungkinan dalam transaksi syariah terdapat keuntungan yang tidak jarang memiliki nilai return melebihi nilai inflasi.
Kesimpulan
Riba memang sudah ada dan dipraktikkan oleh masyarakat pra-Islam untuk memperoleh keuntungan dari aktifitas ekonominya. Riba ini memdapat perhatian penuh oleh para pemikir ekonomi tak terkecuali para pemikir Islam dalam memahami riba setelah turunnya ayat-ayat al-Qur’an mengenai larangan riba yang turun dalam empat fase, yaitu mulai dari surat ar-Rum ayat 39, dilanjutkan tahap kedua surat an-nisa’ ayat 160-161, terus surat Ali Imran ayat 130 dan tahap terakhir surat al-Baqarah ayat 278-279.
            Karena dalam pernyataan riba tidak ditemukan definisi eksplisit, maka timbullah multi tasfir dar para kalangan ulama tersebut. Di anataranya ada ulama yang membenarkan praktik riba ini dengan mengutarakan alasan mudrat, kemaslahatan, mengurangi inflasi, untuk pinjaman produktif, bukan termasuk riba jahiliyah, hanya diperuntukkan terhadap enam komoditas yang disebut hadis, riba hanya untuk transaksi jual beli tidak dalam pinjaman, dan lembaga keuangan yang tidak menerima khitab riba dalam ayat dan hadis riba. Selain itu pula ada berbagai teori yang menunjang pemberan riba ini, yaitu teori abstinence, teori bunga sebagai imbalan sewa, teori opportunity cost, teori kemutlakan produktivitas, teori nilai uang pada masa datang lebih rendah.
            Dari berbagai pendapat yang membenarkan riba dijawab tegas oleh ulama yang menyatakan keharaman riba. Tapi jawaban dari ulama tersebut berujung pada satu inti yaitu adanya illat keteraniayaan (eksploitasi/ zulm) karena adanya pembebanan tambahan (ad’afan muda’afah) dari hutang pokok bagi pemberi riba dan monopoli modal bagi pengambil riba. Illat yang berikan ulama dalam versi ini didukung kuat oleh pengulangan kosa kata riba dalam al-Qur’an yang dapat diartikan taqyid (pengokohan) dan riba dihadapkan dengan sedekah (zakat). Keberadaan illat ini sesuai dengan kaidah “mendatangkan maslahat menolak mudarat, jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid” dan kaidah “semua larangan pada dasarnya adalah haram.”










DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut.

Assad, Muhammad (Leopald Weiss. 1984. Dalam The Message of the Qur’an. Dar Andalus: Gibraltar.

Hadi,Abu Sura’i Abdul. 1993. Bunga Bank dan Islam. Surabaya: Al-IKHLAS.

Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy, (Edinburgh: Edinburgh Univercity Press, 2000)

Iqbal, Munawar (Ed.). Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Dalam Rushdi, Ali Ahmad. the Effects of the Elimination of Riba on Income Distribution. 1986. Islamabad: International Institute of Islamic Economics, International Islamic University.

Mahali, A. Mudjab. 1989. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.

Muhammmad. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Islami. Yogyakarta: EKONISIA Kampus Fakultas Ekonomi UII.

___________. 2002. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam. Jakarta: Salemba Empat.

Qureshi, Anwar Iqbal. 2009. Islam and The Theory of Interest. Delhi: Idarah Adabiyat-i Delli.

Rahadjo, M. Dawam “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”. dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran, No. 9, Vol II. Th 1991/1411H.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tt. Tafsir al-manar. Jilid III.Bairut: Dar al-Ma’i  Arif.

Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Dekripsi dan Ilustrasi. Edisi 3. Yogyakarta: EKONISIA.

Saeed, Abdullah. 2008. Islamic Banking and Interest A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation. Terj. Muhammad Ufuqil Mubin, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tripp,Charles. 2006. Islam and Moral Economy. New York: Cambridge University Press.

Vogel, Frank E. dan Hayes, Samuel L. III. 2007. Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return. Terj. M. Sobirin Asnawi, dkk. Bandung: Nusamedia

Zuhri, Muh. 1996. Riba dalam Al- Qur’an dan Masalah Perbankan, Sebuah Tilikan Antisipatif. Jakarta, RajaGrafindo Persada.





[1] Q.S. 57:24. Dan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan redaksi dan riwayat lain, Muslim dan Ahmad dari Hadis Ibnu Abbas. “Jikalau anak cucu Adam itu –dihadapkan- dua lembah yang berisi dengan emas, maka ia pasti ingin meraih lembah ketiga. Jika ia telah mendapatkan lembah ketiga, maka ia pasti ingin lembah keempat. Tidaklah mata anak cucu Adam itu diliputi sesuatu kecuali debu. Dalam pernyataan Hadis tersebut, Mereka semua menambahkan perkataan Ibnu Abbas, “Aku tidak tahu, apakah keterangan-keterangan itu dari al-Qur’an atau tidak.”
[2] Dalam artikel yang ditulis oleh Ali Ahmad Rushdi dijelaskan bahwa konsep riba selain bertentangan dengan konsep  al-adl wa al-ihsan juga bertentangan dengan pandangan yang dipegang oleh ekonom neoklasik, riba (suku bunga) tidak berperan dalam mobilisasi sumber daya maupun dalam alokasi sumber daya. Munawar Iqbal (Ed.), Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, dalam Ali Ahmad Rushdi, the Effects of the Elimination of Riba on Income Distribution, (Islamabad: International Institute of Islamic Economics, International Islamic University, 1986), hlm. 222.
[3] Muhammmad, Dasar-Dasar Keuangan Islami, (Yogyakarta: EKONISIA Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), hlm. 69.
[4] Q.S. 2:265,275,276,278; 3:130 ; 4:161; 13:17; 16:92; 17:24; 22:5; 23:50; 26:218; 30:39, 41:39; 69:10.
[5] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Dekripsi dan Ilustrasi, Edisi 3, (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), hlm. 10.
[6] Q.S. 2:275,276,278; 3:130; 4:161; 30: 39.
[7] Q.S. 22:5.
[8] Q.S. 2:276; 30:39.
[9] Q.S. 13:17.
[10] Q.S. 17:24; 26:18.
[11] Q.S. 16:92.
[12] Q.S. 2:265; 23:50.
[13] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporery Interpretation, terj. Muhammad Ufuqil Mubin, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet. 3, hlm.33-34.
[14] Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dan Islam, (Surabaya: Al-IKHLAS, 1993), hlm.22.
[15] Abdullah Saeed, Islamic Banking.............., hlm. 35.
[16] Ibid.
[17] Q.S. 30:39.
[18] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut, 2001), hlm. 48 – 50. Kronologi ini pada umumnya telah disepakati oleh jumhur ulama pada umumnya. Sementara kalau kronologi menggunkan kerangka teoritik Barat terutama T. Noeldeke, hasilnya akan sangat berbeda. Dan kronologi ini digunakan oleh M. dawam rahardjo ketika menulis tentang masalah riba. Menurutnya bahwa istilah ribadisebut dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Secara kronologis, ayat pertama yang turun adalah yang tercantum dalam surat ar-Rum : 39. Ayat ini memberikan suatu definisi tentang riba. Selanjutnya, soal riba dibahas dalam serumpun ayat dalam surat al-Baqarah ayat-ayat 275, 276, 278, dan 280. Definisi lain mengenai riba disebut dalam surat Ali Imran : 130. Ayat inilah yang membuka diskusi dan memberi peluang terhadap penafsiran yang lain tentang riba. Dan ayat terakhir turun tercantum dalam surat al-Nisa : 161. Lihat. M. Dawam Rahadjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran, No. 9, Vol II. Th 1991/1411H, hlm. 45.
[19] Ayat ini turun menarik perhatian. Sebab di situ soal riba dikaitkan dengan aktivitas orang-orang Yahudi. Dapat diduga bahwa riba adalah aktivitas khas orang yahudi pada masa Rasulullah SAW. Menurut mufasir Muhammad Assad (Leopald Weiss), dalam The Message of the Qur’an (Dar Andalus, Gibraltar, 1984) dahulu, setelah dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan fir’aun, bangsa Yahudi beroleh berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami berbagai malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah mereka. Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan harta manusia secara batil. Padahal pekerjaan itu, seperti dikatakan al-Qur’an, telah dilarang dalam kitab mereka sendiri, yaitu kitab Taurat dan Zabur yang kini dikenal sebagai kitab Perjanjian Lama. Agaknya karena itulah mereka tidak disukai kaum pribumi, dimana pun mereka tinggal. M. Dawam Rahadjo, “Ensiklopedi Al-Qur’an: Riba”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan: Ulumul Quran, No. 9, Vol II. Th 1991/1411H, hlm. 45. Lihat juga Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm. 52-53.
[20] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an , (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 307-308.
[21] Ibid., hlm. 193.
[22] Ibid., hlm. 133-134.
[23] Anwar Iqbal Qureshi, Islam and The Theory of Interest, (Delhi: Idarah Adabiyat-i Delli, 2009), hlm 4.
[24] Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy, (Edinburgh: Edinburgh Univercity Press, 2000), hlm. 56.
[25] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah....., hlm. 75-76. Sedangkan menurut Muhammad dalam bukunya “Dasar-Dasar Keuangan Islami,” bukanlah suatu komoditas. Uang itu sendiri tidak memberi kegunaan, akan tetapi fungsi yang memberi kegunaan. Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan ....., hlm. 70.
[26] Maksud dari pernyataan ini adalah berasal dari Hadis Muslim yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (tunai). Barang siapa memberi tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama salah.”
[27] Ibrahim Warde, Islamic Finance in........., hlm. 56.
[28] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-manar, Jilid III, (Bairut: Dar al-Ma’i  arif, tt), hlm. 94.
[29] Ibid., hlm. 103.
[30] Abdullah Saeed, Islamic Banking..............., hlm. 42
[31] Muh. Zuhri, Riba dalam Al- Qur’an dan Masalah Perbankan, Sebuah Tilikan Antisipatif, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 98.
[32] Charles Tripp, Islam and Moral Economy, (New York: Cambridge University Press, 2006), hlm. 132.
[33] Heri Sudarsono,  Bank dan Lembaga............, hlm. 15.
[34] Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Islamic Law and Finance: Religion, Risk, and Return, terj. M. Sobirin Asnawi, dkk., (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 99.
[35] Kesetaraan eksas atas pertukaran (termasuk juga pinjaman dan jual beli).
[36] Tujuannya adalah memaksa investor menanggung risiko dan mencegah orang kaya semakin kaya dan orang miskin tetap miskin.
[37] Jika uang ingin menjadi ukuran nilai yang netral, maka uang tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas. Karena bahan makanan sering digunakan sebagai pengganti uang dan merupakan kebutuhan dasar manusia, maka harus diperlakukan seolah-olah bahan makanan juga merupakan nilai yang netral dan stabil, yang ditarik dari perdagangan.
[38] Keuntungan menyertai tanggung jawab atas kerugian, yang menunjukkan bahwa keuntungan dibenarkan secara moral hanya ketika menghadapi risiko, sedangkan keuntungan yang tidak berisiko tidak adil.
[39] Dalam jual beli utang barang ribawi yang berlainan yang risiko pasarnya sudah pasti dan tidak ada ekuivalensi nilai di antara barang-barang tersebut dinyatakan tidak sah, dikarenakan menanggung risiko yang sangat besar.
[40] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah..............., hlm. 69-76.
[41] Keadaan yang menunjukkan daya beli uang meningkat dalam masa tertentu karena jumlah uang yang beredar relatif lebih kecil daripada jumlah barang dan jasa yang tersedia.