Kamis, 05 Januari 2012

Pembagian Sunnah dari Segi Peran Nabi dan Implikasinya


Pendahuluan
            Sudah menjadi suatu yang biasa terjadi di masyarakat ketika mereka mendengar kata "sunnah" maka yang terlintas dalam benak mereka adalah "sesuatu yang baik kalau dikerjakan dan tidak mengapa ditinggalkan serta orang yang meninggalkannya tidak boleh dicela dan diingkari." Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi dengan mengatakan kepada orang yang mengerjakan sunnah: "Kenapa dikerjakan, kan sunnah..., tidak apa-apa ditinggalkan!" Tidak hanya orang awam yang mengatakan demikian, bahkan orang yang dianggap berilmu pun terpengaruh dan ikut-ikutan dengan ucapan "filsafat" tersebut, sehingga dia lebih suka shalat di rumah daripada di masjid dan perbuatan lainnya yang jauh dari tuntunan Sunnah Rasulullah saw. Benarlah ucapan seorang penyair: "Jika engkau tidak mengetahui (ilmunya) maka itu adalah musibah, dan jika engkau mengetahui maka musibahnya lebih besar lagi."
            Dari analogi di atas maka dalam makalah ini akan menjelaskan apakah ada perbedaan antara sunnah dan hadis? Karena pada umumnya, banyak pihak yang menganggap bahwa antara sunnah dan hadis adalah sebuah sinonim yang sama artinya. Namun ada juga membedakannya meski keduanya sama-sama berasal dari satu sumber yakni Nabi Muhammad saw. Nabi yang dalam sejarah menjadi bahan tulisan, pelajaran, pembahasan, dan dijadikan pula panutan dalam setiap ucapan, persetujuan, larangan dan perilakunya, selengkap, sedetil, dan sebanyak Nabi Muhammad SAW. Jumlah halaman dan buku yang ditulis mengenainya tidak terhitung jumlahnya, seolah pena telah kehabisan tinta untuk melukiskan betapa luas hidayah dan rahmat Allah yang dibawanya.
Dari perbedaan makna pada keduanya itulah kemudian akan mengakibatkan pula perbedaan metode pemahaman dan pembagiannya. Karena dalam makalah ini, penulis lebih menekankan pada istilah sunnah bukan hadis dan lebih-lebih dari segi peran nabi sebagai suri tauladan bagi umatnya.
Definisi Hadis dan Sunnah
Sebelum membahas tentang bagaimana peran Nabi Muhammad dalam Hadis atau sunnah, maka perlu diketahui terlebih dahulu tentang definisi Hadis atau sunnah tersebut, meski ada perselisihan pemahaman antara keduanya. Hal ini disebabkan implementasi kedua definisi tersebut dalam pembentukan hukum, baik hukum yang dianjurkan ataupun tidak.
Hadis atau al-aHadis  menurut bahasa mempunyai arti al-jadid atau sesuatu yang baru, lawan dari al-qadim (lama). Maksudnya adalah waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حديث العهد فى الاسلام (orang yang baru masuk atau memeluk agama Islam). Hadis juga dapat diartikan al-khabar yang bermakna bermakna berita, yaitu sesuatu yang dicakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan Hadis.[1]
Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata Hadis ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan  “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan aHadis.[2]
            Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata Hadis lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan Hadis menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.[3]   
            Di dalam al-Qur’an kata Hadis disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (aHadis). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadis di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami,[4] menguraikan pengertian Hadis secara lebih rinci. Menurutnya, kata Hadis yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadis secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
1. Komunikasi religius, pesan, atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا
 “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”
Juga dalam Hadis Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik Hadis (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”
 2. Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”.

            Juga dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar Hadis (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya.”
 3. Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
“Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.
            Dan juga terdapat dalam Hadis Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa....”
4. Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa.”

            Juga dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan Hadis (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah.”
Adapun Hadis menurut istilah ahli Hadis hampir sama (murodif) dengan sunnah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari rasul. Menurut mereka, Hadis adalah segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya (aqwal al-Nabi shallahu alaihi wa sallam wa af’aluhu wa ahwaluhu), yang berkaitan dengan himmah, karekteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaannya. Ada juga yang memberi pengertian, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifatnya (ma udhifa il al-Nabi shallahu ‘alaihi wasallam qaulan au fi’lan au taqriran au shifatan). Namun al-Tarmizi memaknai Hadis secara lebih luas lagi yakni Hadis bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’ (sesuatu yang disandarkan kepada Nabi), tetapi juga termasuk sesuatu yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in). Sementara ulama ushul memberikan makna Hadis, segala perkataan Nabi, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.[5]
Istilah “Hadis” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah “Hadis” mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. Mula-mula Hadis mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampu atau maupun yang baru saja terjadi.[6] Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang Hadis (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.[7]  
            Pada tahap selanjutnya, istilah Hadis digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud dalam kitab Hadis Bukhari yang menyatakan: “Sesungguhnya sebaik-baik Hadis adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” Dalam Hadis tersebut, Ibnu Mas’ud mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik Hadis.
            Pada akhirnya, Hadis digunakan secara ekslusif untuk menunjuk Hadis-Hadis Rasulullah saw. saja. Penyempitan makna Hadis, yakni khusus untuk menunjuk pada Hadis Nabi saja ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?”…Kemudian Rasul menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai Hadis ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap Hadis.” (HR. Al-Bukhari)
            Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah Hadis mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadis dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, Hadis dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadit secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw.
            Menurut Mustafa Azami pengertian Hadis mengalami pergeresan karena pada masa awal Islam, cerita-cerita dan perkataan Nabi mendominasi atas segala macam komunikasi dan cerita-cerita yang lain di kalangan masyarakat pada waktu itu. Kata Hadis semakin lama menjadi semakin ekslusif dan sering digunakan di kalangan bangsa Arab untuk memaksudkan hal-hal yang bersumber pada Nabi. Sampai akhirnya dengan berlalunya waktu, perkataan Hadis menjadi khusus dipergunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi saw.[8]
Adapun sunnah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak (al-thariqatu mahmudatan kanat au madzmumatan). Sedangkan sunnah menurut istilah Muhaddisin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[9]
            Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.[10]
Kemudian istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal.[11] Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai praktik yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi saw.
Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam as-Syafi’i, kata sunnah dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “alif dan lam” di depannya, yaitu tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi tetap digunakan dalam arti luas. Adapun pengertian yang khusus as-Sunnah adalah tata cara dan syari’at Rasulullah saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai kedudukan hukum dalam syari’at Islam.[12]
Untuk mengetahui perbedaannya antara Hadis dan sunnah dapat dilihat dari makna keduanya, yaitu Hadis dan sunnah seperti yang telah diuraikan di atas. Lafaz Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi Nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrirnya, sedangkan sunnah meliputi segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah diutusnya Nabi, maka makna sunnah lebih umum daripada Hadis.
Dalam kaitan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy menyimpulkan bahwa hadis adalah amrun ‘ilmiyun nawadhirun: berita yang merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun ‘amaliyun: perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarakat Muslim walaupun mengetahuinya memerlukan riwayat.[13]
            Senada dengan Hasbi ash-Shiddieqy, Syuhudi Ismail juga memberikan kesimpulan yang jelas tentang perbedaan hadis dan sunnah. Ia membagi kesimpulannya menjadi dua, pertama: bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadis berada di bawah sunnah, sebab hadis merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya sampai pada generasi yang sekarang. Kedua: sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah.[14] Meskipun keduanya berbeda, tetapi ditilik dari segi subjek yang menjadi sumber asalnya, maka pengertian keduanya adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasulullah saw. dengan dasar inilah jumhur ulama muhaddisin memandang identik antara sunnah dan hadis.
Pembagian Sunnah dari Segi Peran Nabi Muhammad
            Dalam masalah ini, penulis tidak mencantumkan sub pembagian Hadis, tetapi sub pembagian sunnah. Hal ini dikarenakan antara Hadis dan sunnah ada yang membedakan istilah pengertian antara keduanya. Lagi pula, jika disebutkan tentang pembagian Hadis, maka sudah mafhum bahwa pembagian Hadis itu seperti Hadis shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’ serta cabang-cabangnya.
Setelah diketahui perbedaan makna Hadis dan sunnah, kemudian lebih lanjut adalah mengetahui apa pembagian sunnah dari segi peran Nabi Muhammad. Dalam hal ini, penulis merujuk pada kitab al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad al-Jarjani disebutkan pengertian sunnah sebagai cara atau jalan yang ditempuh dalam agama selain sesuatu yang fardhu atau wajib,[15] serta Nabi menganjurkan kepada orang lain "untuk melakukan".[16]
Pembagian sunnah berdasarkan peran Nabi (peran di sini penulis mengartikan Nabi sebagai uswatun hasanah yang pasti memiliki nilai rahmatan lil ‘alamin  dan patut untuk ditiru atau dicontoh, baik itu karena berlaku sebagai hukum syara’ namun bukan hal wajib atau fardhu atau karena menjadi suatu kebiasaan) terbagi menjadi dua bagian,[17] pertama, sunnah al-huda yakni sunnah yang sering dikerjakan oleh Nabi dan hal ini berhubungan dengan masalah ibadah. Ini berarti sunnah tersebut dikatakan dengan sunnah yang kuat; seperti doa sunnah pagi, siang dan malam doa, azan, iqamah, berdoa dalam jemaat, yang dianggap sebagai dasar-dasar Islam, yang kemudian diistilahkan juga dengan sunnah al-muakkadah atau sunnah al-ibadah.
Kedua, sunnah al-zawaid yaitu sunnah yang dilakukan dengan niat beribadah dan terkadang ditinggalkan dan hal itu sudah menjadi kebiasaan oleh orang-orang dari kota dan negara-negara di mana dia tinggal. Kegiatan sehari-hari normal dari Rasulullah seperti makan, minum, berpakaian, duduk, berdiri dan perbuatan-Nya yang berkaitan dengan sopan santun termasuk dalam sunnah al-zawaid atau disebut juga sunnah ghayr muakkadah atau sunnah al-‘adiyah.
Dengan demikian, sunnah al-zawaid akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia dengan seluruh sifat kemanusiaannya. Sebagai manusia biasa, ia dilahirkan dengan ayah dan ibu yang jelas, bermain, belajar, bekerja, menikah, dan memiliki keturunan. Nabi berjalan di pasar, membawa barang dagangannya, menyapu rumah, menjahit pakaiannya yang robek, memotong daging serta menyiapkan sayuran di dapur. Beliau juga merasakan apa yang pernah dirasakan oleh manusia pada umumnya seperti rasa harap dan cemas, miskin dan kaya, lapang dan susah, menyendiri dan bermasyarakat.
Sunnah al-Huda adalah sunnah yang dilaksanakan dengan tujuan untuk menyempurnakan petunjuk  agama.[18] Jadi bagi orang yang meninggalkan sunnah tersebut maka ia berhak dicela dan dibenci serta wajib menggantinya meski ia tidak mendapatkan sanksi karena hal itu bukan sesuatu yang wajib atau fardhu, seperti shalat sunnah fajar. Namun, sebagian ada juga yang mengatakan bahwa kelalaian tersebut hukumnya adalah berdosa.[19] Sanksi hukum ini diberlakukan karena menganggap remeh persoalan yang menyangkut ibadah dalam agama yang kesemuanya, sunnah al-huda ini, bersumber dari Hadis-Hadis shahih.
Adapun tindakan hukum bagi orang yang meninggalkan sunnah al-zawaid maka ia tidak berhak dicela dan dibenci, seperti adzan orang yang shalat sendirian, bersiwak dan semisalnya. Karena itu tidaklah ia dituntut untuk menegakkannya dan tidak berdosa meninggalkannya, serta tidaklah ia menjadi jelek (karena meninggalkan perbuatan tersebut). Namun yang lebih utama adalah melaksanakannya.[20] Karena itu, tidak ada perbedaan dalam menafsirkan tindakan hukum bagi yang meninggalkan sunnah al-zawaid.
Hukum Meninggalkan Sunnah al-Huda dalam Rawatib dan Witir
Dalam bagian ini, penulis lebih menspesifikasikan tindakan hukum terhadap orang yang meninggalkan shalat rawatib dan shalat witir. Hal ini disebabkan sunnah bagi keduanya sangat kuat, di samping juga shalat rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu dan shalat witir yang sama sekali tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi untuk mengerjakannya.
Pembagian sunnah seperti ini adalah pembagian yang diklasifikasikan oleh ulama madzhab hanafi, meski bagi mereka ada penambahan satu macam sunnah lagi yaitu sunnah nafilah. Dalam makalah ini, penulis tidak akan membahas bagian yang ketiga ini, sebab ada yang menyamakan antara sunnah al-zawaid dengan sunnah nafilah. Selain itu, kategori ini jika ditarik pada pembagian dari ulama madzhab Syafi’i maka sunnah al-huda sama artinya dengan sunnah muakkadah dan sunnah al-zawaid juga sama artinya dengan sunnah al-zawaid.
Kembali pada pembahasan hukum meninggalkan shalat sunnah rawatib  dan  shalat sunnah witir, maka di sini diuraikan lebih detail lagi sebab ada berbagai pendapat dari kalangan ulama khususnya madzhab Hanafi—penulis mengutip ini dari situs yang sama yaitu http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm.  Ibnu Muflih menyatakan dalam Al-Furu' (Al-Mughniy 2/594): “orang yang meninggalkan sepanjang hidupnya, atau sering (meninggalkannya), maka ia difasikkan (dianggap fasik) karenanya. Demikian pula jika orang itu melanggengkan dalam meninggalkan untuk seluruh sunnah-sunnah rawatib.
Karena dengan terus-menerus meninggalkan sunnah, nantinya akan muncul kebencian terhadap sunnah itu sendiri.” Rasulullah saw.  telah bersabda: “Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku (yaitu golongan orang yang berada di atas petunjukku).” (Muttafaqun 'alaih dari Anas bin Malik ra.).
Dengan meninggalkan sunnah secara terus-menerus akan berakibat melekat padanya tuduhan/anggapan: tidak meyakini perkara itu sebagai sunnah dan jelas hal ini dilarang.
Dan karena inilah Rasulullah saw. bersabda: "Aku berlepas diri dari setiap muslim yang berada di antara komunitas kaum musyrikin, yang tidak akan saling terlihat api (permusuhan) di antara keduanya." (HR. Abu Dawud 3/104). Maksudnya adalah karena dengan bermukimnya dia (seorang muslim ini) pada komunitas mereka (musyrikin), akan dituduh dengan tuduhan: akan memperbanyak jumlah mereka dan bermaksud menolong mereka serta menyukai agama mereka.
Demikian juga dalam Al-Fushul disebutkan, “Terus-menerus meninggalkan sunnah rawatib tersebut tidaklah dibolehkan.” Hal tersebut sama halnya dengan masalah sunnah witir, sebagaimana pernyataan Al-Imam Ahmad, “ia akan dianggap sebagai orang yang membenci sunnah dan ini mengandung konsekuensi sebagai suatu kefasikan.” Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa: “Barangsiapa yang meninggalkan witir, berarti dia tidak adil..”
Sementara pendapat An-Nawawiy yang dinyatakan dalam Raudhatut Thaalibiin (11/233), “Barangsiapa yang membiasakan diri meninggalkan sunnah-sunnah rawatib ditolak persaksiannya, karena peremehannya terhadap agama. hal ini dikemukakan, karena rendah/minimnya kepeduliannya terhadap perkara-perkara yang penting.” Sama halnya dengan Syaikhul Islam, ia mengatakan bahwa, “shalat witir adalah sunnah mu`akkadah, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dan barangsiapa yang terus-menerus meninggalkannya persaksiannya ditolak.”
Syaikhul Islam mengatakan pula bahwa “sunnatul witir itu termasuk sunnah mu’akkadah dan tidak sepantasnya bagi seorang pun untuk meninggalkannya.” (Majmu' Fatawa 23/88). Dan masih dalam pernyataannya, “Barangsiapa yang bersikukuh untuk terus-menerus meninggalkannya, hal itu menunjukkan kerendahan pemahaman agamanya dan ditolak persaksiannya menurut madzhab Ahmad, Syafi'i dan selainnya.” (Majmu' Fatawa 23/127). Pernyataan lain darinya, yaitu: “orang yang membiasakan dirinya meninggalkan sunnah-sunnah yang selain shalat jamaah, maka gugurlah keadilannya menurut mereka dan tidak diterima persaksiannya. Lalu bagaimana dengan orang yang meninggalkan shalat jamaah itu sendiri? Maka sesungguhnya ia diperintahkan dengannya sesuai kesepakatan kaum muslimin. Dicela orang yang meninggalkannya dan tidak dapat diterima hukum, persaksian atau fatwanya yang disertai dengan terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah rawatib yang selain shalat jamaah.” (Majmu' Fatawa 23/253).
Maksud pernyataan di atas adalah meninggalkan sunnah yang rawatib saja sudah sedemikian kerasnya sikap para imam, apalagi kalau meninggalkan shalat jamaah di masjid, tentu lebih keras lagi sikap mereka dalam pengingkarannya. Perlu diketahui bahwasanya kebanyakan para ulama berpendapat tentang wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki. Hal ini bisa dilihat dalam kitab Ahammiyyatu Shalaatil Jamaa'ah karya Dr. Fadhl Ilahi atau lihat kembali buletin edisi 38/I.
Asy-Syathiby berpendapat di dalam Al-Muwaafaqaat (1/79-80) bahwa jika amalan itu merupakan suatu yang dianjurkan secara per-bagian, maka itu wajib secara keseluruhan, seperti adzan di masjid atau yang selainnya, sedekah tathawwu', menikah, halat rawatib dan shalat witir. Sunnah yang dianjurkan dikerjakan secara per-bagian, yang seeandainya ditinggalkan secara keseluruhan, pasti akan dicela bagi orang yang meninggalkannya. sebab, semisal dalam adzan yang didalamnya terdapat penampakkan syiar-syiar Islam, begitu pula  dalam menikah. Menikah disyariatkan dengan tujuan untuk memperbanyak keturunan dan pelestarian (makhluk) jenis manusia.
Nah, apabila sunnah itu ditinggalkan secara total, akan memberi dampak negatif pada agama, yaitu menyia-nyiakan agama. Hal ini berlaku pada seseorang yang sering meninggalkan sunnah tersebut. Namun, jika melakukannya hanya pada sebagian waktu saja, maka hal ini tidak memberi dampak apa-apa bagi agama dan tidak ada larangan meninggalkannya (sewaktu-waktu).
Adapun sikap mengingkari orang yang meninggalkan sunnah adalah dibolehkan, sebagaimana yang telah disebutkan oleh madzhab HaNabilah. Pengingkaran tersebut terkadang wajib dan terkadang mandub. Maka akan menjadi wajib, jika kewajiban itu ditinggalkan dan keharaman dikerjakan. Dan akan menjadi mandub, apabila yang mandub itu ditinggalkan dan yang makruh dilakukan.
Pendapat ini juga dinyatakan oleh ulama selain madzhab HaNabilah, sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Muflih di dalam Al-Adab Asy-Syar'iyyah (1/194).
Masalah pengingkaran ini dicontohkan oleh An-Nawawiy dalam Syarh Muslim (6/134) dari Hadis Abu Hurairah mengenai pengingkaran Umar terhadap Utsman, ketika ia terlambat berangkat di awal waktu shalat Jumat dan meninggalkan mandi untuk shalat Jumat. Al-Hafidz berkata di dalam Al-Fath (2/360): “Dan di dalam Hadis tersebut ada beberapa faidah, yaitu pengingkaran seorang imam kepada orang yang meninggalkan keutamaan, walaupun besar kedudukan orang tersebut dengan tujuan agar orang lain tercegah dari melakukan perbuatan tersebut.”
Sunnah al-Huda dan Implikasinya
            Jika seseorang meninggalkan sunnah al-huda maka ia akan mendapatkan sanksi hukum. Sedangkan bagaimana jika orang tersebut malah menambahkan atau mengurangi sunnah al-huda—khususnya—dengan niat ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi? Maka apabila hal ini terjadi maka ia sudah dikatakan melakukan hal yang dinamakan dengan bid’ah.[21]
Sebenarnya bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) yang berhubungan dengan ibadah, baik itu karena ada penambahan atau pengurangan dan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan hukum syara’. Dan sunnah yang dimaksud di sini adalah sunnah al-huda.
Dari itu, sesuatu yang ditambah atau dikurangi dalam sebuah sunnah maka dinyatakan sebagai bid’ah dhalahah dengan bersandar pada Hadis وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ (setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dari neraka), dan Hadis مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدّ (siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak).[22]
Namun, ada juga yang menyatakan bahwa bid’ah ada juga yang dapat dikategorikan dengan bid’ah hasanah seperti yang dilontarkan imam Syafi’i:[23]
عَنْ حَرْمَلَة بْنِ يَحْيَ رَحِمَهُ اللهُ قَالَ : سَـمِعْتُ الشَّا فِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : اَلْبِدْعَةُ بِدْ عَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مُحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السَّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْم .ٌ
Dari Harmalah bin Yahya rahihullah berkata: “Aku mendengar al-Syafi’ie rahimahullahu ta’ala berkata: Bid’ah ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Apa yang bersesuaian dengan sunnah maka itu adalah terpuji dan apa yang bertentangan dengan sunnah berarti tercela.”
            Pendapat ini menyingkronkan Hadis yang menyesatkan semua bentuk praktik bid’ah dan Hadis Nabi yang berbunyi مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا (siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun). (HR. Muslim (1017)).[24]
            Menurut pendapat ini, Hadis “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk).[25] Terdapat banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang bid’ah hasanah baik itu terjadi ketika pada masa Rasulullah, dan sesudah Nabi wafat.[26]
Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya antara hadis dan sunnah itu memiliki perberdaan. Perbedaannya adalah pertama, hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi Nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrirnya, sedangkan sunnah meliputi segala sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah diutusnya Nabi, maka makna sunnah lebih umum daripada hadis.
            Kedua, hadis adalah amrun ‘ilmiyun nawadhirun: berita yang merupakan pengetahuan dan merupakan kunci, sedangkan sunnah amrun ‘amaliyun: perbuatan yang sudah berlaku di dalam masyarakat Muslim walaupun mengetahuinya memerlukan riwayat.
            Ketiga, bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadis berada di bawah sunnah, sebab hadis merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakannya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus-menerus dilaksanakan Nabi beserta para Sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya sampai generasi yang sekarang dan sebagai konsekuensinya, maka ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, hadits berada satu tingkat di bawah sunnah.
Adapun Pembagian sunnah berdasarkan peran Nabi terbagi menjadi dua bagian, pertama, sunnah al-huda yakni sunnah yang sering dikerjakan oleh Nabi dan hal ini berhubungan dengan masalah ibadah. Ini berarti sunnah tersebut dikatakan dengan sunnah yang kuat; seperti doa sunnah pagi, siang dan malam doa, azan, iqamah, berdoa dalam jemaat, yang dianggap sebagai dasar-dasar Islam, yang kemudian diistilahkan juga dengan sunnah al-muakkadah atau sunnah al-ibadah.
Kedua, sunnah al-zawaid yaitu sunnah yang dilakukan dengan niat beribadah dan terkadang ditinggalkan dan hal itu sudah menjadi kebiasaan oleh orang-orang dari kota dan negara-negara di mana dia tinggal. Kegiatan sehari-hari normal dari Rasulullah seperti makan, minum, berpakaian, duduk, berdiri dan perbuatan-Nya yang berkaitan dengan sopan santun termasuk dalam sunnah al-zawaid atau disebut juga sunnah ghayr muakkadah atau sunnah al-‘adiyah.
Selanjutnya, bagi orang yang meninggalkan sunnah al-huda akan ia mendapatkan sanksi hukum, meski bukan pada dataran penjatuhan dosa, yang sesuai dengan situasi dan kondisi pelaku. Sedangkan bagi orang yang meninggal sunnah al-zawaid maka tidak sanksi hukum yang memberatkannya. Akan tetapi, bagi orang yang menambah sunnah al-huda khususnya dan yang menguranginya, maka ia dianggap telah melakukan perbuatan bid’ah. Meski demikian, di sini masih ada perselisihan ulama. Ada yang mengatakan bahwa hal itu disebut dengan bid’ah dhalalah yang secara mutlak harus ditolak dan ada pula yang berpendapat bahwa  tidak semuanya bid’ah  itu hukumnya sesat akan tetapi ada bid’ah yang ditetapkan sebagai bid’ah hasanah.
Daftar Pustaka
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
as-Shalih, Subhi. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj). Jakarta: Pustaka Firdaus.
www.inpasonline.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Azami, M.M. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj). Jakarta: Pustaka Firdaus.
al-Jarjani, Ali bin Muhammad. 1988. al-Ta’rifat. Beirut: Dar al-kutub wa al-‘ilmiyyah.
http://www.questionsonislam.com/word/10712, diakses pada tanggal 19 Desember 2011.




[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 1.
[2] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 15
[3] Ibid., hlm. 16.
[4] www.inpasonline.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.

[5]Ibid., hlm. 2.
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 35.
[7] Ibid., hlm. 7-8.
[8]  www.inpasonline.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.
[9] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terj), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 14.
[10] www.inpasonline.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.
[11] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah.............., hlm. 37.
[12] M.M. Azami, Hadis Nabawi ................, hlm. 20.
[13] M Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar..........., hlm. 37.
[14] www.inpasonline.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2012.
[15] Ali bin Muhammad al-Jarjani, al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-kutub wa al-‘ilmiyyah, 1988), hlm. 122.
[16] http://www.questionsonislam.com/word/10712, diakses pada tanggal 19 Desember 2011.
[17] Ali bin Muhammad al-Jarjani, al-Ta’rifat.............., hlm. 122.
[18] Ibid.
[19] http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm, diakses pada tanggal 19 Desember 2011.
[20] Ibid.
[21] Bid’ah yang berasal dari al-ikhtira’ adalah mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Seperti yang termaktub dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai berikut: والمراد غالب البدع . قال أهل اللغة : هي كل شيء عمل على غير مثال سابق(dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, ia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu). http://alhikmah.web.id/2009/06/pengertian-bidah/. Diakses pada tanggal 20 Desember 2011.
Adapun makna bid’ah secara istilah diberi pengertian oleh beberapa ulama sebagai ulama, di antaranya menurut Ibnu Taimiyah ialah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah. Adapun yang diperintahkan dengan perintah wajib dan sunnah serta diketahui perintah-perintah tersebut dengan dalil-dalil syar’i. Sedangkan menurut as-Syahtibi, bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Adapun pendapat Ibnu Rajab bahwa bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syari’at. Adapun suatu yang ada dasarnya dalam syara’, maka bukan bid’ah meskipun dikatakan bid’ah menurut bahasa. Sementara menurut As-Suyuti bid’ah ialah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syari’at karena menyelisihinya atau perbuatan yang menjadikan adanya penambahan dan pengurangan syari’at.
[22] Analisa dari Hadis ini, bagi pengikut pendapat ini, adalah dari segi bahasa bahwa Hadis yang berbunyi kullu ini bermakna bahwa setiap atau semua. Kata kullu ini juga dapat dipahami “semua atau setiap” seperti dalam Firman Allah surah Al Imran ayat 185, yang berbunyi kullu nafsin zaa iqotul maut yang artinya setiap atau semua yang bernyawa pasti akan mati. Kullu disini mencakup segala-galanya, maka kata kullu secara sah dan secara nyata bahwa tidak ada benda yang benyawa yang tidak akan mati.
Jadi, kullu bid’atin dhalalah sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat. Dengan demikian jelaslah bahwa semua dalil yang ada bersifat umum dan mutlak meskipun banyak tetapi tidak ada pengecualian sedikitpun dan sudah menjadi ketetapan ilmu ushul bahwa setiap kaidah syar’i yang umum atau dalil syar’i yang umum bila berulang-ulang di banyak tempat dan mempunyai pendukung-pendukung, serta tidak ada pembatasan dan tidak ada pengkhususan, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keumumannya.
Kalau yang dicontohkan adalah kejadian Umar r.a mendapati suatu kaum muslimin pada zamannya melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan bahkan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu berkata: “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih secara berjamaah)”.
Maksud dari peristiwa Umar ra. Ini menurut Syaikh Muhammd bin Shalih al Utsaimini bahwa hal tersebut bukan bid’ah akan tetapi termasuk sunnah Rasulullah saw. berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah r.a, bahwa Nabi pernah melakukan qiyamul lail di bulan ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut, kemudian Nabi tidak melakukannya pada malam berikutnya dan bersabda: “sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksakannya.” Jadi, di sini jelas sekali bahwa Umar r.a tidaklah mengada-ada atau membuat ajaran baru berupa qiyamul lail dibulan Ramadhan secara berjamaah dengan satu imam, akan tetapi beliau r.a mencoba ingin menyatukan orang-orang yang shalatnya bersendiri-sendiri dan sebagian yang lain berjamaah.
[23] Ibid.
[24] Maksud dari Hadis ini adalah perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi saw, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi saw. Di sisi lain, Rasulullah saw. seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Nabi.
[25] Dan lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.
[26] Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah.
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم

“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah saw., bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah saw selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah saw. selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau saw. menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau saw. bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadis ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Berikut ini adalah salah satu dalil bid’ah hasanah setelah Nabi wafat.
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلِىَ الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلىَ قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ والَّتِيْ ناَمُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Abdurrahman bin Abd Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin Al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin Al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada satu imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripa di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2010) dan Malik (1/114).
Maksud dari Hadis adalah Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Dan tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar. Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ahhasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Dan pada hakekatnya, apa yang beliau lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah telah bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : «فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ».
“Rasulullah bersabda: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”.