Sabtu, 24 Desember 2011

Kajian Hukum PERKAWINAN LINTAS AGAMA Sebuah Fenomena Sosiologis Historis

BAB I

PENDAHULUAN


Dalam realita kehidupan masa kini, kita tidak dapat menampik bahwa perkawinan lintas agama telah menjadi suatu kenyataan yang fenomenal. Mereka yang melakukan hal demikian terkadang  karena didasari perasaan cinta saja, namun adakalanya pula karena dilandaskan pada ajaran dogmatis dengan argumen bahwa perkawinan lintas agama ini sah menurut agama. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa perkawinan lintas agama ini telah mendarah daging, artinya sudah menjadi warisan leluhur sejak zaman dahulu.
            Nah, dalam buku ini, penulis akan menyajikan beberapa pendapat para pakar hukum Islam dalam menyikapi masalah ini. Di antaranya adalah mereka (para hukum Islam) yang berpendapat bahwa perkawinan campur ini boleh dalam syariat Islam dengan belandaskan pada surat al-Maidah ayat 5 dan juga beberapa hadis Nabi serta pengalaman sejarah Islam pada zaman Rasulullah dan ulama salaf, yang di antara mereka juga pernah melakukan perkawinan beda agama ini. Ada pula yang mengharamkannya dengan berdalih pada ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 10 surat al-Mumtahanah yang didalamnya melarang kaum muslimin untuk melakukan perkawinan dengan pemeluk agama lain di luar agama Islam.
Jadi melihat realita sejarah ini, ulama dalam memutuskan hukum tersebut juga mengalami pro dan kontra. Namun, kita tidak boleh memandang dari satu sisi saja, akan tetapi kita harus melihat dan meninjaunya kembali dari berbagai aspek.
Perlu diketahui, seluruh pendapat ulama dalam memutuskan suatu hukum tertentu adalah bersifat ijtihad, yang artinya pendapat mereka tidaklah bersifat mutlak. Bisa saja hukum yang mereka keluarkan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman pada masa sekarang, atau hukum pada zaman dahulu tidak berlaku pada saat ini. Oleh karena itu dalam merumuskan hukum di sini, penulis berkecenderungan melihat dari aspek metodologi ushul fiqh yang dibungkus aspek sosiologis histories.
            Untuk itu, penulis dalam menganalisa hukum perkawinan beda agama ini sengaja menampilkan beberapa pendapat para ulama sebagai acuan atau rujukan, metodologi ushul fiqh, dan sebagai perbandingannya melihat beberapa fenomena kehidupan yang ada pada saat ini.
            Di sisi lain, penulis juga akan menganalisis pandangan dari ulama Indonesia yang rata-rata mengharamkan perkawinan lintas agama tersebut, begitu pula halnya masyarakat awam. Untuk itu, dalam buku ini akan membahas sesuatu yang menjadi dasar para pakar hukum Islam dalam mengharamkan dan membolehkan perkawinan beda agama ini, dengan sistematika penulisan deduktif.














BAB II

RUANG LINGKUP MAKNA PERKAWINAN


Dalam Islam telah diatur bagaimana seseorang ingin berhubungan dengan orang lain sebagai pasangan hidupnya, sehingga akan terbentuk kedamaian dan ketenangan hidup dalam dirinya. Sebelum membahas hal itu, maka dalam bab ini akan dijelaskan tentang makna atau pengertian dari perkawinan yang disyariatkan dalam ajaran Islam untuk memulai suatu hubungan dengan seseorang dalam menjalankan kehidupan, yaitu melalui ikatan tali perkawinan.

Definisi Perkawinan
Kata nikah berasal dari bahasa Arab نكح-ينكح-نكاحا yang berarti perkawinan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), dan mempunyai persamaan makna dengan perkawinan.[1] Alquran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping –secara majazi—diartikan dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.[2]
            Menurut M. Ali Hasan  secara etimologi, perkawinan berarti persetubuhan. Ada pula yang mengartikannya perjanjian (al-aqdu).[3]
            Alquran juga menggunakan kata zawwaja yang berarti “pasangan” untuk makna di atas. Ini karena perkawinan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.
            Secara umum Alquran hanya menggunakan dua kata ini untuk mengambarkan terjalinnya hubungan antara suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti ”memberi”) digunakan oleh Alquran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi saw, dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan isteri. Tetapi agaknya kata ini  hanya berlaku bagi Nabi saw. (QS Alahzab: 50).
Secara terminologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja. Pengukuhan di sini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syariat, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat akad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
Menurut Maliki, pernikahan adalah akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita. Artinya dengan akad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan zina.
Adapun menurut Syafi’i pernikahan adalah akad yang menjamin diperbolehkannya persetubuhan. Sedangkan menurut Hambali adalah akad yang di dalamnya terdapat lafadz pernikahan secara jelas agar diperbolehkan bercampur.
            Jadi melihat beberapa definisi dari pernikahan itu, maka kesimpulan dari inti pernikahan adalah akad (perjanjian) yang telah ditetapkan syariat untuk penghalalan dalam persetubuhan.


Dalil-Dalil yang Berkaitan dengan Masalah Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu jalan yang telah ditetapkan syariat dan merupakan salah satu sunnatullah yang secra umum berlaku untuk semua makhluk Allah. Berikut beberapa kutipan ayat-ayat Alquran yang menyinggung masalah perkawinan.

1.      Surat Adzdzariat: 49
و من كل شئ خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون
           
Dan segala sesuatu kami jadikanberjodoh-jodohan agar kamu sekalian mau berpikir.” (QS Adzdzariat: 49)

2.      Surat Yasin: 36

سبحان الذى خلق الأزواج كلها ممّا تنبت الأرض ومن أنفسهم ومّما لا يعلمون
           
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodohan, baik tumbuh-tumbuhan, maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui.”
( QS Yasin: 36)

3.      Surat Alhujarat: 13
يا أيها الناس انا خلقناكم من ذكر أو أنثى

“Hai manusia! Kami telah jadikan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan.” (QS Alhujarat: 13 )

Tujuan Perkawinan
Dalam sebuah perkawinan Allah jadikan maksud dan tujuan mulia yang terkadang manusia tidak mengetahui atau mengabaikannya. Di samping itu, Allah tidak akan menetapkan suatu hukum bagi hamba-hambaNya kecuali terdapat hikmah yang tersirat karena semata-mata hanya untuk kebaikan manusia itu sendiri.
            Adapun tujuan ditetapkannya hukum perkawinan sebagai sunnatullah ialah
1.      Untuk memelihara kelestarian hidup manusia.[4] Dalam hal ini Allah berfirman;

يا أيها الناس اتقوا ربكم الذى خلقلكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما
 ورجلا كثيرا ونساء
            “Hai manusia! Bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari seorang diri, lalu ia jadikan dari padanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali”. (QS Annisa’: 1)

2.      Untuk melahirkan keturunan yang baik.[5]
Perkawinan yang merupakan salah satu jalan untuk terbentuknya komunitas masyarakat yang kecil, yaitu dengan dilahirkannya buah cinta dari pasangan suami isteri, yang kemudian diharapkan menjadi keturunan dan penerus yang selalu menegakkan dan menjalankan syariat agama. Alquran menamakan anak tersebut sebagai “qurrah a’yun” (buah hati yang menyejukkan) serta “zinah hayah aldunya” (hiasan kehidupan dunia). Berikut penjelasan Alquran dalam hal tersebut;

والذين اذا يقولون ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين اماما.
“Dan orang-orang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertakwa.” (QS Alfurqan: 74)

Dan Allah berfirman pula;

المال والبنون  زيتة الحيوة الدنيا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS Alkahfi: 46)

3.      Untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia.[6] Artinya bahwa Tuhan tidak berkehendak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naluri (seks)nya. Mengenai masalah ini Rasullullah bersabda;

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه أغض للبصر وأحصن للفرج
(أخرجه الجماعة)
           
“Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang mampu membayar mas kawin, hendaklah ia kawin. Karena perkawinan itu sangat mencegah untuk melihat sesuatu yang tidak halal, dan sangat menjaga kemaluan. (HR. Aljamaah)

4.   Untuk mencari ridlo Allah dan kesenangan di akhirat.[7]
Dengan perkawinan diupayakan menjadi solusi bagi para pasangan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan cara saling mengingatkan dan menasehati.
Firman Allah;

يا أيها الذين أمنوا قوا أنفسكم و أهلكم نارا
           
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS Attahrim: 6)
5.      Untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan (sakinah).[8]
Sakinah artinya adalah ketenangan atau ketentraman yang dinamis dan aktif yang dibahasakan dalam Alquran dengan “mawaddah wa rahmah” yaitu keluarga yang penuh kasih dan sayang, dengan harapan akan terbentuknya sebuah keluarga yang berperadaban tinggi.
Allah berfirman;

هو الذى أنزل السكينة فى قلوب المؤمنين ليزدادوا ايمانا مع ايمانهم.
           
“Dialah yang telah menurunkan  ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS Alfath: 4)

      Dalam FirmanNya pula;
ومن أياته أن خلق لكم  من أنفسكم أزواجا لنسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة فى ذلك لأيات لقوم يتفكرون.

            “Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)Nya ialah Dia menciptakan isteri-isteri untukmu dari jenismu sendiri yang kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu kash dan sayang. Sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benr terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Arrum: 21)

6.      Latihan memikul tangung jawab.[9]
Apabila perkawinan dilakukan untuk mengatur fitrah manusia, maka tujuan perkawinan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini berarti, bahwa perkawinan adalah pelajaran dan pelatihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban tersebut.
Nabi bersabda;

كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته. (اخرجه البخاري)
     
“Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan akan bertangungjawab dari yang dipimpinnya.” (HR Bukhari)






















BAB III

DI SEKITAR PENGERTIAN PERKAWINAN LINTAS AGAMA

Setelah kita mengetahui pengertian tentang perkawinan, maka selanjutnya kita juga perlu mengetahui pengertian tentang perkawinan lintas agama. Karena pada masa sekarang ini sudah menjadi tren atau bukan barang tabu lagi untuk menikah dengan seseorang yang beda agama.
            Nah, setelah kita mengetahui pengertian perkawinan lintas agama, seyogyanya pula kita mengetahui apa saja agama yang telah disebutkan dalam Alquran yang akan menjadi pembahasan pada bab selanjutnya tentang hukum mengawini perempuan yang beda agama tersebut.

Pengertian Perkawinan Lintas Agama
Yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam laki-laki atau perempuan dengan orang yang beragama selain agama Islam.
            Dalam Alquran dijelaskan bahwa ada beberapa agama yang dikenal selain Islam, yaitu Ahli Kitab, Shabi’un, Majusi, dan Kafir atau Musyrik (polytheist).

1.      Ahli Kitab
Kata Ahl Alkitab disebutka sebanyak 31 kali dalam Alquran, yang tersebar dalam dalam 9 surat dan 31 ayat, yakni QS Albaqarah: 105 dan 109; QS Ali Imran: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, dan 199; QS Annisa’: 123, 153, 159, dan 171; QS Almaidah: 15, 19, 59, 65, 68, 77; QS Alankabut: 29; QS Alhasyr: 2 dan 11, QS Albayyinah: 1 dan 6. dari ke-9 surat ini, hanya satu surat yang merupakan Surat Makkiyah (surat yang diturunkan di Mekkah), yaitu QS Alankabut [29], sisanya tergolong pada Surat Madaniyah (surat yang diturunkan setelah hijrah ke Madinah).[10]
      Kata ahli kitab berasal dari kata ahl, bentuk pluralnya adalah ahlun dan ahal, yang berarti famili, kerabat, pemeluk, dan pengikut; kitab berarti buku atau kitab suci, yang menjadi pedoman umat agama. Kitab suci yang disebutkan dalam Alquran adalah Zabur, Taurat, dan Injil.
      Jadi makna ahli kitab secara istilah adalah orang-orang yang padanya diturunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Kitab Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, menurut Qatadah dan Mujahid, kitab ini dibaca oleh orang Saba (Shabi’un), yang keberadaannya dianggap tidak ada lagi, karena itu, yang tersisa kini adalah Yahudi dan Nasrani. Nama ahli kitab pada Yahudi dan Nasrani yang masing-masing menerima Taurat (Torah) dan Injil (Evangel). Alasan melekatnya kata ahli kitab pada Yahudi dan Nasrani adalah QS Alan’am: 156, yang menegaskan bahwa hanya dua golongan sebelum Islam yang diberi kitab suci. Menurut Aththabari, yang dimaksud dua golongan ini adalah Yahudi dan Nasrani.
      Islam menghormati Yahudi dan Nasrani dengan sebutan ahli kitab yang menunjukkan penghargaan Islam terhadap mereka lantaran adanya kesamaan dalam keberbedaan mereka dengan Islam. Kesamaannya adalah dari aspek asal-usul kedua agama ini, yaitu sama-sama sebagai agama samawi, yang menekankan iman kepada Allah dan hari kiamat. Kemudian bila ditelusuri secara genealogis akan didapati bahwa Yahudi, Nasrani, dan Islam merupakan agama yang dibawa oleh keturunan Ibrahim. Yahudi dan Nasrani dibawa oleh keturunan Ibrahim dan Siti Sarah, sedangkan Islam oleh keturunan Ibrahim dan Siti Hajar. Dari penelusuran ini, jelas bahwa Yahudi, Nasrani, dan Islam itu serumpun.
      Nah, berkenaan dengan ini, Syafi’i menjelaskan secara rinci bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan Bani Israil. Sedangkan selain itu tidak masuk ke dalam kategori “ahli kitab”, karena Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada Bani Israil, dan dakwah mereka hanya ditujukan kepada Bani Israil juga.[11]
      Pendapat ini bersandar pada ayat yang membolehkan perkawinan lintas agama itu dengan adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu). Dan sebuah Hadis Nabi, “Setiap Nabi diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat manusia. di samping itu, Syafi’i meriwayatkan dari Atha’, bahwa ia berkata, “orang Nasrani Arab bukan termasuk ahli kitab. Golongan ahli kitab hanya Bani Israil dan kepadanya diturunkan Taurat dan Injil, sedangkan dari bangsa lain yang menganut agama mereka (Yahudi dan Nasrani) bukan termasuk ahli kitab”.
      Pendapat Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang mengatakan bahwa siapa yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahli kitab. Dengan demikian ahli kitab tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jadi, apabila ada satu kelompok yang hanya percaya pada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud) saja, maka iapun termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab. Pendapat lain yang dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang mengatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahli kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir, yakni menurut Almaududi diperkuat lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer termasuk Rasyid Ridho, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (Samawi).
      Sedangkan menurut pendapat Quraish Shihab[12] dan Qudamah[13] mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di manapun, dan dari keturunan siapapun mereka. Ini berlandaskan pada istilah Alquran yang hanya terbatas pada kedua golongan yaitu Yahudi dan Nasrani. Ayat tersebut ialah;
ان تقولوا انما أنزل الكتب علي طا ئفتين من قبلنا وان كنا عن دراستهم لغافلون

“(Kami turunkan Alquran ini) agar kamu (tidak )mengatakan bahwa, “kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca”.

      Abdul Aziz binAbdullah bin Baz suatu ketika pernah ditanya, “Siapa ahlul kitab sekarang, mengingat kaum Yahudi dan Nasrani saat ini adalah kaum usyrik kepada Allah?” Dia menjawab bahwa ahlul kitab adalah agama Yahudi dan Nasrani, dalam kondisi kemusyrikan mereka. Kemusyrikan mereka itu telah terjadi ketika turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad saw. Ketika itu, Allah telah memberi kabar bahwa mereka memang kafir dan musyrik, seperti disebut dalam firman Allah swt.,

      “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah Almasih putra Maryam.’ Padahal Almasih sendiri berkata, ‘hai Bani Israil, sebahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan surga baginya, dan tempat orang itu ialah di neraka. Tidaklah bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.’ Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah salah satu yang tiga. Padahal, sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka ucapkan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.’”(Almaidah: 72-73)
     
“Mereka menjadikan pendeta-peendeta dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhanbselain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) Almasih putra Maryam. Padahal, mereka  hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Attaubah: 31)
     
“Katakanlah, Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada satu kalimat (ketetapana) yang tidak ada perselisihan antara  kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lainsebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlahkepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim.” (Ali Imran: 64)
     
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Almasih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka.mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”  (Attaubah: 30)
     
Sejumlah ayat Alquran tersebut menunjukkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani memang sudah kufur dan syirik saat ayat-ayat Alquran diturunkan, namun mereka tetap disebut sebagai “ahlul kitab”.[14]
Dalam  hal ini Nurcholis Madjid juga menegaskan bahwa ahlul kitab tidak termasuk golongan muslim. Pasalnya, mereka tidak mengakui atau bahkan menentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu, dalam terminology Alquran mereka disebut “kafir”, yakni “yang menentang” atau “yang menolak.” Maksudnya, yang menentang atau menolak Nabi Muhammad saw beserta ajaranyang dibawanya, yaitu agama Islam.
Selain kata ahli kitab, menurut Quraish Shihab terdapat juga kata yang menunjukkan mereka dengan menggunakan kata alyahud yang disandangkan kepada umat Yahudi dan kata nashara yang sama penggunaannya dengan kata alladzina hadu bagi penganut agama Nasrani.
      Kata alyahud yang digunakan Alquran itu berkesan sebuah kecaman atau gambaran negatif tentang mereka. Contoh kata alyahud yaitu dalam Firman Allah QS Almaidah : 82 yang menjelaskan tentang kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim; QS Albaqarah tentang ketidakrelaan mereka terhadap kaum Muslim  sebelum umat Islam mengikuti mereka; QS Almaidah: 18 yang menerangkan tentang pengakuan mereka bahwa orang Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah; QS Almaidah: 64 tentang pernyataan orang Yahudi bahwa tangan Allah terbelenggu (kikir).
            Sedangkan kata nashara  terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian, ada pula dalam konteks kecaman dan terakhir bersifat netral. Adapun kata  nashara yang mengandung pujian adalah seperti dalam surat Almaidah: 82 yang menjelaskan tentang mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang Islam, yang mengandung kecaman, seperti dalanm surat Albaqarah: 120 yang berbicara tentang ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim mengikuti mereka, dan yang terakhir yang bersifat netral, misalnya surat Alhajj: 17 yang membicarakan tentang putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan kelompok lain di hari kemudian.
            Adapun kata alladzina hadu ada yang mengandung kecaman misalnya terhadap mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan mengurangi (QS Annisa’: 46), ada pula yang bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau pedih (QS Albaqarah: 62).
            Pakar bahasa Alquran berpendapat, antara lain Azzarkasyi dalam bukunya Alburhan, kata alyahud mengandung makna kecaman dilandaskan pada surat Albaqarah: 120 yang menggunakan kata lan kandungannya berupa kecaman, ada pula yang bersifat untuk menafikan sesuatu di masa datang. Sedang kata la yang ditujukan pada Nasrani digunakan untuk menafikan sesuatu tanpa mensyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

2.   Shabi’un
Agama Shabiah disebutkan tiga kali dalam Alquran. Dalam Surah al-Baqarah ayat 62. Khazanah tafsir klasik Islam memuat beragam pendapat, termasuk mispersepsi, terhadap agama ini. Apakah Shabiah merupakan agama penyembah bintang yang kini benar-benar sudah punah dari muka bumi? Seperti pendapat Qatadah, bahwa kaum Shabi’un membaca kitab suci Zabur, yang diturunkan kepada Nabi Daud. Dengan demikian, mereka dapat digolongkan pada kategori ahli kitab. Tetapi menurut sebagian ulama, seperti Mujahid, Alhasan, dan Ibn Abi Nujayh, kaum Shaba ini memeluk agama antara Yahudi dan Nasrani. Sedang menurut Sayyid Qutb, mereka adalah orang-orang tidak beragama Nasrani maupun Yahudi, juga tidak musyrik tetapi menganut agama Ibrahim.
            Ada pula yang berpendapat bahwa kaum Shaba adalah satu golongan dalam agama Nasrani: Shaba dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh. Selain itu ada juga yang berpendapat, dinamakan Shaba, karena berpindah agama dari satu agama kepada agama yang lain.
            Ibn Hammam mengatakan, bahwa orang-orang Shaba adalah golongan yang memadukan antara agama Yahudi dan agama Nasrani, mereka menyembah bintang-bingtang. Dalam berbagai buku Hadis disebutkan, bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab. Ibnu Qudamah berkata, “para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang Shaba. Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani.” Tetapi di tempat lain ia berkata, “pernah ku dengar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Jadi mereka termasuk orang-orang Yahudi.” Riwayat Umar mengatakan, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu.
            Dalam perbedaan pendapat ini, Imam Syafi’i mengambil jalan tengah, yaitu apabila mereka itu lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama (Yahudi dan Nasrani), maka orang tersebut termasuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kedua agama itu, berarti orang itu bukan ahli kitab.
      Menurut Raeed Hassoun Bakal[15], Shabiah (Sabean) berasal dari bahasa Aramik, shaba'a. Padanan katanya dalam bahasa Arab adalah ta`ammada yang berarti pembabtisan dan penyucian diri dengan air. Ritual baptis adalah sakramen kuno. Baptis merupakan syariat utama agama Shabiah. Makna dari syariat ini adalah permulaan hidup baru, maklumat bagi pertaubatan dan penyucian jiwa-raga. Seorang bayi yang baru lahir harus dibaptis agar ia sah menjadi pemeluk agama Shabiah. Dalam upacara hari-hari besar keagamaan Shabiah, upacarsa baptis hukumnya wajib. Pemeluk Shabiah dianjurkan untuk sesering mungkin melakukan sekramen ini agar dosa dan kesalahannya dihapus. Tobat tidak cukup hanya lewat pengakuan dosa, namun juga melalui sakramen ini. Sedangkan Mandaiyun (Mandaean) berasal dari kata manda yang berarti kearifan. Maka gabungan dua kata itu (Shabi'ah Mandaiyun) berarti orang-orang yang dibaptis dan arif karena menganut agama yang benar.
Shabiah Mandaiyun adalah agama kuno yang telah ada sejak manusia ini ada. Ia mengikuti ajaran-ajaran nabi pertama sekaligus nenek-moyang manusia, yaitu Nabi Adam. Pemeluk Shabiah juga melestarikan ajaran-ajaran yang termaktub dalam shahifah Idris, Syith, Sam bin Nuh, dan Yahya bin Zakaria yang diyakini sebagai nabi terakhir pemeluk agama ini. Hari Ahad (Minggu) merupakan hari suci bagi kami. Hari Ahad adalah hari pembabtisan Nabi Yahya bin Zakaria.
Sejak sebelum Masehi, agama ini tersebar di kawasan yang disebut Bulan Sabit Subur, meliputi Palestina, Suriah, Mesir, Jordania, Jazirah Arab, Irak, dan Iran. Namun akibat penindasan sepanjang sejarah terhadap pemeluk agama kami, lambat laun pengikutnya semakin menyusut. Dan sekarang kami terkonsentrasi di Irak Selatan.
Kitab suci Shabiah disebut Kanza Raba. Padanan kata Arabnya adalah al-Kanz al-A'dzam (Harta Karun yang Agung, Red). Kitab ini merupakan kompilasi dari ajaran-ajaran Nabi Adam, Syith dan Sam bin Nuh yang berisi dua bagian. Pertama, dari sisi kanan memuat sifr takwin (kitab kejadian), kisah pertarungan antara kekuatan baik dan jahat, kekuatan cahaya dan kegelapan, pujian-pujian untuk Tuhan, dan beberapa aturan fikih. Kedua, dari sisi kiri, berisi bahasan tentang jiwa manusia yang berkaitan dengan pahala dan siksa. Selain kitab Kanza Raba, Shabiah juga memiliki kitab-kitab suci lain: kitab Darasyia Adihiya yang berisi ajaran Nabi Yahya bin Zakaria, kitab al-Qilsita yang berisi tentang asal-muasal jiwa Adam dan manusia secara umum, dan kitab al-Anfus yang berisi ritual dan pujian dalam acara pernikahan.
Di Irak saat ini kaum Shabiah hanya berjumlah kurang lebih 10 ribu orang. Padahal di tahun 1960 dan 1970-an, kami mencapai 50-70 ribu orang. Akibat penindasan rezim politik Irak, tidak sedikit dari keluarga-keluarga kami yang memilih eksodus untuk mencari suaka politik dan tempat perlindungan ke negara lain. Karena itu, Anda dapat menjumpai penganut agama ini di beberapa negara seperti Australia, Swedia, Belanda, Denmark, dan beberapa negara Eropa lainnya. Yordania dan Suriah biasanya dijadikan tempat persinggahan pemeluk agama ini sebelum berpindah ke negara lain.
Meskipun demikian, yakni tentang pengklaiman mereka sebagai (ahli kitab) penganut dari ajaran nenek moyang dari para Nabi, bukan berarti mereka itu dapat digolongkan pada ahli kitab. Sebab jelas dalam Alquran, julukan ahli kitab hanya disandangkan pada kaum Nasrani dan Yahudi, seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Dan Nabi pun dalam hadisnya tidak secara tegas menyatakan bahwa mereka termasuk dari golongan ahli kitab.
3.   Majusi
Menurut sebagian ulama, kaum Majusi adalah kaum yang menyembah api dan bintang. Sedangkan menurut yang lain, mereka menyembah matahari dan bulan. Pendapat Wahb bin Munabbih, mereka mengakui Allah tetapi tidak menjalankan syariat agama.
Ada pendapat lain yang mengatakan pula, bahwa orang-orang Majusi mempercayai keNabian Zoroaster dan Allah. Menurunkan wahyu kepadanya sebagai kitab suci yang bernama Zend Avesta, orang-orang beragama Shabian, yaitu agama dari golongan Gnostik, atau yang mengenal kehidupan yang agung, kitab suci mereka bernama Ginza, mereka mempercayai bahwa Hermes, Plato, beberapa para filosof dan semua pembawa syariat, telah mendapatkan wahyu samawi dari Allah. Yang ajarannya mengandung perintah, larangan, berita tentang hukuman setelah kematian, dan ganjaran pahala dengan surga dan siksa dengan neraka atas segala perbuatan manusia selama hidup di dunia. Karena tingginya ajaran yang mereka bawa, terutama ajaran moral, dan bersesuaian dengan ajaran agama, maka pemikir Islam Ibn Rusydy (w. 1198 M) misalnya, sebagai pakar hukum Islam dan penulis kitab Bidayah Almujtahid, juga seorang filosof Muslim terbesar berpendapat, bahwa Aristoteles (w. 321 SM0, seorang filosof Yunani, adalah seorang manusia yang bersifat Ilahi (seorang Nabi).[16]
Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa kaum Majusi tidak dikategorikan sebagai ahli kitab dengan berdasarkan Hadis Nabi yang berbunyi;

“Disampaikan kepadaku dari Malik, dari Ja’far bin Muhammad bin Ali dari bapaknya, bahwa umar bin Khattab menyebut Majusi, berkata: “Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka”, lalu Abdurrahman bin Auf berkata: “Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar Rasulullah bersabda: “Perlakukanlah ia (Majusi) seperti ahli kitab (Samawi).”

Dari hadis di atas menunjukkan bahwa kaum Majusi bukan termasuk ahli kitab, hanya saja perlakuan terhadap mereka disamakan dengan orang-orang ahli kitab, yaitu orang-orang Nasrani dan Yahudi. Meskipun menurut Nurcholis Madjid, mereka adalah bagian dari ahli kitab, dengan berdalil bahwa hanya ahli kitab yang boleh dipungut jizyah. Berikut kutipan dari ungkapan Nurcholis Madjid,

“… Tetapi juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Shabiun , yang dalam konteksnya mengesankan seperti ahli kitab.digabung dengan ketentuan dalam praktik Nabi saw bahwa beliau memungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain. Kemudian praktik Umar Ibnul Khattab memungut jizyah dari kaum Majusi Persia, dan Utsman Ibnu Affan memungut jizyah dari kaum Barbar di afrika Utara. Maka, banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan ahli kitab di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab, jizyah dibenarkan dipungut hanya dari ahli kitab ( yang hidup damai dalam negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk ahli kitab seperti kaum musyrik (yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini).”
Dari pernyataan Nurcholis di atas, bahwa hanya ahli kitab yang boleh dipungut jizyah, disanggah oleh Yusuf Qardhawi. Sebab menurutnya, jizyah adalah pajak tahunan atas tiap kepala ahli dzimmah, berupa sejumlah kecil uang yang dikenakan atas kaum pria yang baligh dan memiliki kemampuan, sesuai dengan besarnya kekayaan masing-masing. Ahli dzimmah adalah kaum non muslim yang hidup dengan lingkungan masyarakat Islam. Jadi, Ahli Dzimmah adalah orang-orang non muslim, bisa dari golongan ahli kitab dan bisa pula di luar ahli kitab.
Pernyataannya pula tentang “kaum musyrik yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka ini”, juga mengherankan. Selama ini, tidak ada larangan bagi kaum muslim untuk tidak berdamai dengan mereka. Bahkan, rasulullah sendiri pernah membuat perjanjian damai Hudaibiyah dengan kaum musyrik Quraisy. Setelah kota Mekkah ditaklukkan pun, Rasulullah tidak pernah memaksa mereka untuk memeluk Islam. Mereka diberi kebebasan memeluk agama mereka, meskipun sebagian besar kemudian memeluk Islam.
Kesimpulannya adalah hanya orang-orang Nasrani dan Yahudilah yang termasuk dari ahli kitab, yang menurut sebagian besar ulama diperbolehkan untuk mengawini perempuan-perempuannya.

4.   Orang-Orang Kafir dan Musyrik
Kata kafir berasal dari kata كفّر-يكفّر-كفر yang berarti menyembunyikan atau menutup (اخفاء, تغطية, سرّ). Berdasarkan pengertian ini, maka para petani disebut oleh Allah dengan kata kuffar (jamak dari kafir), ini dijelaskan dalam surat Almaidah: 20. Para petani disebut kuffar karena pekerjaan mereka memang menyembunyikan atau menutup biji-bijian dalam tanah supaya tumbuh.  Dipakainya term “kifarat sumpah di dalam kitab-kitab fikih adalah sesuai dengan pengertian bahasa tersebut, yakni menutup ucapan sumpah yang telah terlanjur diucapkan, karena isi sumpah itu tidak jadi dilaksanakan.
Berangkat dari pengertian di atas, lafadz kufr terdapat beberapa tingkatan yang disebutkan Alquran, di antaranya:
1.      Kafir (kufr) ingkar, yakni seseorang yang mengingkari Allah dengan hati dan lidahnya. Kelompok ini dijabarkan oleh Musa sebagai berikut:
a.       Kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan. Hal ini digambarkan dalam Alquran Surat Hud: 60;  ألا ان عادا كفروا ربهم ألا لعاد قوم هود
b.      Mengingkari Keesaan Allah, sebagaimana dijelaskan dalm surat Almaidah: 73;لقد كفر الذين قالوا ان الله ثالث ثلاثة
Kafir ini disebut juga musyrik.
c.       Mengingkari kitab Allah (Alquran) seperti tercantum  dalam surat Alfushshilat: 41;
ان الذين كفروا بالذكر لما جائهم وانه لكتاب عزيز
d.      Mengingkari keNabian, seperti tercantum dalam surat Alqamar: 13-14;
وحملناه على ذات ألواح ودسر تجرى بأعيننا جزاء لمن كفر
Dan dalam surat Saba’: 34;
انا بما ارسلتم به كافرون
Para ahli kitab yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad masuk kedalam kelompok ini.
2.      Kafir (kufr) juhud, kekafiran yang disebabkan oleh seseorang yang mengakui adanya Tuhan, tetapi tidak mau mengikrarkan imannya dengan lidah, seperti kafirnya Umayyah bin Abu Shalt, sebagaimana diisyaratkan Allah dalam surat Albaqarah: 89 فلما جائهم ما عرفوا كفروا به
3.      Kafir (kufr) mu’anadat, artinya kafirnya seseorang yang mengakui adanya Allah dan mengikrarkan imannya dengan lidah, tetapi tidak mau memeluk Islam, seperti kafirnya Abu Thalib sebagaimana terlihat nyata di dalam ucapannya berikut:
ولقد علمت بان دين محمد  #  من خير اديان البرية دينا
لولا العلامة او حذا رمسبة  #  لوجدتني سمعا بذلك مبينا
“Demi sesungguhnya saya telah mengetahui bahwa agama Muhammad itu ialah agama terbaik bagi manusia. Seandainya tidaklah karna takut celaan atau makian, niscaya engkau akan mendapatiku seorang yang patuh dan taat beragama Islam”.
4.      Kafir (kufr) nifaq, artinya seseorang yang bersikap ambivalen, yaitu pada lahirnya ia beriman kepada Allah (mukmin) tapi di dalam hati ia kafir (ingkar). Orang semacam ini diancam oleh Allah dengan azab yang paling pedih dengan menempatkannya di dasar neraka yang paling bawah, seperti ditegaskan Allah di dalam surat Annisa’: 45;
ان المنافقين في الدرك الأسفل من النار
5.      Kafir (kufr) nikmat, artinya orang yang meremehkan perintah dan larangan Allah, namun hatinya tetap mempercayai Allah dan lidahnya mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dari itu para ulama umumnya menyebut orang ini dengan “fasik” sebagai ganti dari kata “kafir”.

Seperti yang telah diuraikan istilah kafir, maka term ini juga menimbulkan pemaknaan yang beragam, sebab term ini mencakup makna yang luas, yang di dalamnya terdapat term spesies yang arti dan maknanya berbeda antara yang satu dari yang lainnya. Umumnya ulama mengartikan kafir dengan pengingkaran terhadap Allah, para Rasul beserta semua ajaran yang mereka bawa, dan hari akhirat.[17] Alquran sendiri menggunakan term kafir untuk beragam kelompok, yakni kepada orang-orang kafir sebelum keRasulan Muhammad; kepada orang-orang kafir Mekah yang mengingkari Allah dan melecehkan Nabi; kepada orang-orang yang ingkar terhadap nikmat Allah; kepada orang-orang yang mencari pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah; kepada orang-orang yang tidak mau mengambil i’tibar dan cinta dunia; dan kepada orang-orang yang munafik dan murtad.
Sedangkan menurut Arrazi, orang kafir ada dua macam seperti yang tercantum dalam surat Albayyinah : 1, yakni ahlul kitab dan orang musyrik. Yang disebut ahlul kitab adalah mereka yang berpedoman kepada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, Nabi, Hari akhir dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak ber-Tuhan (ateis). Atau, mereka masih mengakui Tuhan akan tetapi tidak berdasarkan kitab samawi.[18]
Setelah kita mengetahui makna kafir, maka selanjutnya akan dipaparkan pengertian musyrik. Musyrik berasal dari kata شرك-يشرك-شرك, yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu, baik dengan menyembah benda-benda (pagan) maupun menyembah Allah sambil tetap menyembah benda-benda (monolatry).
Mengomentari terminologi tersebut, Abu Ala’la Almaududi menjelaskan jika kita mengkaji isi kandungan Alquran, ditemukan istilah yang memiliki makna yang berbeda satu sama lain, yaitu musyrik, kafir, ahli kitab, dan ahli iman. Orang-orang kafir yang digambarkan dalam Alquran, seperti dalam surat Almaidah: 15, 16, 17, dan 73; dan surat Attaubah: 30, pada hakikatnya adalah ahli kitab yang telah menyimpangkan ajaran kitab mereka yang asli. Akan tetapi, sungguh pun demikian Alquran tidak menyebut mereka dengan istilah musyrik, melainkan tetap dengan sebutan ahli kitab seperti yang tercantum dalam surat Almaidah ayat 77.[19]
 Melihat berbagai perbedaan pendapat tentang makna musyrik dan kafir, ulama ada yang memasukkan ahli kitab ke dalam kategori musyrik dan ada pula yang membedakan keduanya secara tegas. Ibnu Umar, misalnya menganut pendapat yang pertama, sebagaimana ditegaskan: “Saya tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan seseorang bahwa Tuhannya ialah Isa.” Tapi bagi ulama yang menganggap bahwa ahli kitab tidak termasuk musyrik agaknya mereka akan berkata, bahwa syirik dalam surat Almaidah: 72 berkonotasi umum atau pengertian syirik secara bahasa bukan pengertian secara khusus yang penyembah berhala seperti tampak dalam surat Albayyinah: 1; surat Alhajj: 17; ataupun surat Almaidah: 82. Adapun dalam surat Albaqarah: 221 menurut mereka membicarakan kaum musyrik selain ahli kitab. Jumhur ulama mengatakan ahli kitab ialah kaum Yahudi dan Nasrani, sementara musyrik ialah para penyembah berhala.
 Pemilihan pengertian ini berawal dari redaksi ayat Alquran yang menyebut kaum musyrik tersendiri di samping kaum ahli kitab, yang dihubungkan dengan huruf wawu athaf, yang menurut kaidah bahasa Arab menunjukkan bahwa ma’thuf  berlainan dari ma’thuf alaih, sebagaimana dalam ayat Alquran berikut;

  1. Surat Albayyinah: 1
لم يكن الذين كفروا من اهل الكتاب و المشركين حتى يأتيهم الجنة

“orang-ornag kafir di antara ahli kitab (Yahudi, Nasrani) dan orang-orang yang musyrik tidak mau meninggalkan agama mereka sehingga datang keterangan kepada mereka. ” (QS Albayyinah:1)

  1. Suarat Almaidah: 82

لتجدن اشد الناس عداوة للذين امنوا اليهود والذين اشركوا ولتجدن اقربهم مودة للذين امنوا قالوا انا نصارى

”Sesungguhnya kamu (Muhammad) niscaya menemukan orang-orang yang sangat keras memusuhi orang-orang beriman, ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik (mempersukutukan Allah). Dan kamu menemukan pula orang-orang yang kasih kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang berkata, “kami adalah orang-orang Nasrani.” (QS Almaidah: 82)


  1. Surat Alhajj: 17

ان الذين امنوا والذين هادوا والصابْين والصارى والمجوس والذين اشركواان الله يفصل بينهم يومالقيامة ان الله على كل شئ شهيد

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in (penyambah bintang), orang-orang Nasrani dan Majusi begitupun orang-orang yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah akan memberikan keputusan yang tegas diantara mereka pada hari kiamat. Allah saksi pada setiap sesuatu.” (QS Alhajj: 17)

Jadi berdasarkan susunan ayat dan ditambah pula pernyataan Tuhan yang tercantum pada akhir ayat ketiga itu, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing golongan itu mempunyai perbedaan meskipun sama-sama kafir. Sekiranya mereka mempunyai status yang sama di sisi Allah, tentu pernyataan tersebut tidak perlu menyebut satu persatu melainkan cukup dengan sebutan kafir atau musyrik saja.  













BAB IV

Pandangan Ulama
terhadap Hukum Perkawinan Lintas Agama

Mengenai hukum perkawinan lintas agama banyak sekali terjadi pertentangan, ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Pertentangan pendapat hukum ini didasari oleh Alquran sebagai sumber hukum utama Islam.
            Adapun alasan ulama yang membolehkanya untuk kawin beda agama, yaitu berlandaskan pada Firman Allah dalam surat Almaidah: 5, yaitu;

اليوم احل لكم الطيبت وطعام الذين أوتوا الكتب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين اوتوا الكتب من قبلكم اذا اتيتموهن اجورهن محصنين غير مسافحين ولامتخذي اخدان ومن يكفر با لأيمان فقد حبط عمله وهو في الأخرة من الخسرين
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka; (dan dihalalkan bagimu, mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka, tidak bermaksud berzina dan tidak pula menjadikan mereka gundik-gundik. Barang siapa kafir setelah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Almaidah: 5)
            Sedangkan pendapat ulama yang mengharamkannya juga berlandaskan pada Firman Allah pula yaitu dalam surat Albaqarah: 221, dan surat Almumtahanah: 10. Berikut petikan ayat 221 surat Albaqarah:

ولا تنكحوا المشركت حتى يؤمن وللأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولاتنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة والمغفرة باذنه ويبين أيته للناس لعلهم يتذكرون

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita-wanita musyrik walaupun ia (wanita-wanita musyrik) lebih menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya laki-laki budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun ia lebih menarik hatimu.(karena) mereka menyeru ke neraka, sedangkan Allah menyeru ke surga dan keampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Albaqarah: 221)

            Kemudian dijelaskan pula dalam surat Almumtahanah: 10, seperti berikut:

يايهاالذين امنوا اذا جائكم المؤمنت مهجرت فامتحنوهن الله اعلم بايمانهن فان علمتموهن مؤمنت فلاترجعوهن الى الكفار لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهن

“Hai orang-orang yang beriman apabila berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui tentang keimanan mereka bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan suami-suami  kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS Almumtahanah: 10)
Setelah melihat dari kutipan ayat-ayat tersebut, maka di bab ini akan dibagi menjadi beberapa penjelasan, yaitu pertama bagaimana pandangan ulama terhadap hukum seorang laki-laki Muslim yang kawin dengan wanita bukan Islam. Bagian ini pula, akan dirinci lagi menjadi tiga bagian, yakni pendapat ulama yang mengharamkan dengan adanya kawin antaragama, ada yang mebolehkan dengan bersyarat, serta yang terakhir ada sebagian ulama yang membolehkanya secara mutlak. Kedua, menjelaskan pandangan ulama mengenai kawin beda agama antara perempuan Islam dengan laki-laki bukan Islam.

A. Pandangan Ulama terhadap Hukum Pernikahan Laki-laki Muslim dengan Perempuan bukan Muslim
A.1. Pandangan Ulama yang Mengharamkan Kawin Lintas Agama antara laki-laki Muslim dengan wanita bukan Muslim

Pada dasarnya seluruh jumhur ulama sepakat bahwa di dalam Islam dilarang seorang laki-laki muslim mengawini wanita yang musyrik. Hal ini didasarkan pada ayat Alquran surat Albaqarah: 221. Meskipun demikian, penetapan wanita musyrik itulah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga menjadi perbedaan pula dalam ketetapan hukum menikahinya. Karena perbedaan hukum ini berawal dari perbedaan persepsi atau interpretasi dari redaksi bahasa Alquran tentang siapa itu orang kafir, musyrik, dan  ahli kitab.
Dalam surat tersebut (surat Albaqarah: 221) yang melarang untuk mengawini wanita musyrik, seperti yang kita ketahui sebelumnya, siapa wanita musyrik yang sesungguhnya? Maka dalam hal ini para mufassir, antara lain Alfakhrururazi yang dimaksud musyrik adalah mereka yang mengingkari eksistensi Tuhan (atheis), tidak percaya kepada Nabi, dan hari kiamat, maka mereka itulah yang dilarang untuk dikawini.
Tapi kalau yang dimaksud musyrik adalah juga termasuk Yahudi dan Nasrani, seperti pendapat ibnu Umar, sahabat Nabi yang mengatakan, “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu hamba dari Allah.” Maka hal ini yang menjadi pertentangan, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sebab jumhur ulama, dan sebagian sahabat serta tabiin yang pernah melakukan perkawinan dengan wanita bukan Islam, sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani adalah termasuk dari ahli kitab yang dilandaskan pada firmanNya pula dalam surat Almaidah: 5. Walaupun demikian ada sebagian ulama masih juga menyelisihkan status orang-orang Yahudi dan Nasrani itu yang boleh dikawini.
Ada juga yang berpendapat yang dimaksud dengan musyrik adalah orang-orang Arab masa lalu. Mereka berpendapat demikian setelah menafsirkan ayat tersebut dengan memperhatikan asbabun nuzulnya, yakni seperti yang diriwayatkan oleh Muqati: “Ayat ini turun disebabkan bertalian dengan kejadian Abi Martsad, sedang namanya sendiri Kun Nas bin Hashin Alghanawi. Dia dikirim oleh Rasulullah secara rahasia ke Mekkah untuk mengeluarkan seorang sahabatnya dari sana. Sedang di Mekkah pada zaman jahiliyah dulu ia punya teman perempuan yang dicintainya, namanya “Inaq.” Perempuan ini lalu datang kepadanya maka kata Martsad kepadanya: “Sesungguhnya Islam telah mengharamkan perbuatan-perbuatan jahiliah dahulu.” Lalu kata Inaq: “Kalau begitu kawin saja saya.” Jawab Martsad:”Nanti saya minta izin dulu kepada Rasulullah, lalu ia datang kepada Rasulullah minta izin. Tetapi beliau melarang mengawininya, sebab ia sudah Islam sedang perempuannya masih musyrik.
Disebutkan musyrik Arab dulu, karena di samping dilarang kawin  dengan mereka, sebaliknya juga dianjurkan mengawini budak, karena dengan jalan mengawini budak, ia dan anak-anak yang dilahirkan akan menjadi merdeka. Ini adalah sebagian tujuan ajaran Islam, yaitu untuk menghapus perbudakan. Pendapat ini berdasarkan asbabun nuzul surat Almaidah: 5 yang diriwayatkan oleh Saddy dari Ibnu Abbas  bahwa turunnya ayat tersebut berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah. Ia dulu punya budak perempuan hitam yang dimarahinya begitu rupa dan ditampar mukanya. Kemudian karena ia merasa takut, lalu ia datang kepada Rasulullah menceritakan kejadiannya. Kemudian setelah kejadian itu ia langsung memerdekakannya serta mengawininya. Dari itulah  yang menjadi alasan sebagian sahabat Nabi atau tabiin, seperti Said bin Jabir, Atha, Thawus,dan Abu Tsur, membolehkan mengawini budak musyrik, dengan mengutip pula ayat-ayat Alquran, (QS Almukminun: 5 dan 6). Akan tetapi ayat tersebut tidak menyebutkan secara simbolik budak musyrik. Sehingga apabila kata tersebut diumumkan, maka budak musyrik termasuk juga di dalamnya. Karena dalam hukum Islam budak adalah milik majikannya apapun keadaan dan agamanya. Menurut Badran  pendapat ini didukung oleh beberapa Hadis Nabi, atsar, dan ijtihad para sahabat dan ulama.
Di sisi lain, ayat (Albaqarah: 221) ini turun dalam situasi dan kondisi kebencian dan perang yang berketerusan antara kaum musyrik dengan Nabi dan umat Islam. Mereka mengusir Nabi dan kaum Muslimin dari kampung halaman dan rumahnya.
Ayat sebelumnya (Albaqarah: 220) membahas persoalan anak yatim, yang karena perang, jumlahnya meningkat banyak sekali, sedangkan ayat 221 membahas perkawinan dengan kaum musyrik, yang tujuan kedatangan Islam adalah untuk membasmi kemusyrikan; melakukan perkawinan dengan orang yang sedang dalam keadaan perang, pasti menyebabkan kesukaran besar dan banyak permasalahan. Itu sebabnya dalam surat Almumtahanah: 10, yang turun kemudian, diterangkan bahwa karena perang dengan kaum musyrik, hubungan suami istri dengan pihak mereka harus dihentikan, dan perkawinan dilarang, dan tidak halal.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah agama yang ada sekarang ini, seperti Hindu, Budha, Sinto dan Konghucu misalnya, termasuk orang-orang musyrik yang haram untuk dikawini? Dalam hal ini, ada dua pendapat. Pertama, mereka dikategorikan pada orang-orang musyrik. Karena jumhur ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrik adalah orang-orang penyembah berhala, termasuk juga orang-orang Majusi. Maka jika mengambil dari pendapat ini, haram hukumnya menikahi mereka.
Kedua,  ada yang berpendapat bahwa mereka boleh dikawini sebab mereka juga termasuk dari ahli kitab. Oleh karena itu, dari pendapat ini penulis akan meletakkan uraiannya ke dalam bab yang berbeda di bagian selanjutnya.
A.2. Pandangan Ulama yang Membolehkan Kawin Lintas Agama antara laki-laki Muslim dengan wanita bukan Muslim secara bersyarat

Memang di satu sisi Islam membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab disebabkan salah satu wujud toleransi Islam yang tiada bandingnya dengan agama dan millah mana pun. Meskipun terkadang Alquran menyebut ahli kitab sebagai orang kafir dan sesat, ia tetap memperbolehkan seorang Muslim menjadikan perempuan ahli kitab sebagai istri dan ratu dalam rumah tangganya, penenang hati, tempat menyimpan rahasia, dan ibu bagi anak-anaknya, betapapun perempuan itu tetap berada pada keyakinannya.
Selain itu, menurut HAMKA, kebolehan tersebut dikarenakan pula adanya persamaan teologis. Hal senada diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, ketika ditanya tentang hukum menikahi wanita ahli kitab yang melakukan tindakan syirik, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa hal itu dibolehkan.kaum Yahudi dan Nasrani melakukan tindakan syirik (bil fi’li) tetapi alquran tidak menyebut mereka sebagai kaum musyrik (bil ismi). Namun Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa mereka tetap golongan kafir. Pembahasan tentang ini diletakkan dalam bab “Nikahul Kuffar” dari kitab Majmu’ul Fataawa.
Meski demikian, di sini ada catatan penting yang harus diketahui, bahwa sesungguhnya perempuan Muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama bagi seorang Muslim dibanding perempuan ahli kitab. Dalam hal ini Quraish Shihab menjelaskan, bahwa keutamaan mengawini perempuan muslimah tersebut disebabkan oleh adanya persamaan agama dan pandangan hidup sehingga dapat membantu melahirkan ketenangan (sakinah), bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga. Di sisi lain, menurutnya pula, penyebutan perempuan Muslimah dalam Alquran dahulukan daripada ahli kitab. Meskipun demikian, ia tidak menafikan bahwa Islam membolehkan bagi seorang laki-laki muslim untuk mengawini perempuan ahli kitab, yaitu perempuan Yahudi dan Nasrani dengan syarat perempuan ahli kitab yang boleh dikawini adalah perempuan baik-baik sebagaimana diungkapkan dalam ayat tersebut (Almaidah: 5), yakni “wal muhshanati minalladzina utul kitab” (perempuan-perempuan terhormat yang selalu menjaga kesuciannya dan yang sangat menghormati kitab suci). Artinya, yang dibolehkan untuk dikawini itu bukan sembarang perempuan ahli kitab, melainkan terbatas pada perempuan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi. Ia juga menambahkan bahwa, kebolehan itu tidak mutlak. Artinya sebatas jalan keluar kebutuhan mendesak, misalnya kaum Muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah.[20]
Dalam kaitan ini, Muhammad Syaltut berpendapat, bahwa dibolehkannya perkawinan ini juga berdasarkan kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami –berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya—untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini wanita bukan Muslimah yang ahli kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara alamiah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.
Sayyid Qutb menambahkan pula, bahwa dibolehkannya laki-laki Muslim mengawini wanita bukan Islam (ahli kitab) yaitu diharuskannya berada di bawah sistem pemerintahan Islam yang telah mapan, yang memungkinkan umat Islam memegang kontrol kekuasaan dan memungkinkan untuk ditegakkannya ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam. Alasannya surat Almaidah: 5, turun pada periode Madinah. Ayat ini menunjukkan perdamaian dengan orang-orang yang bukan Islam, yang saat itu tunduk pada pemerintahan negara Madinah, yang berarti tidak lagi memusuhi umat Islam. Karena itu, mereka tidak lagi dikategorikan musuh yang berbahaya, dan mereka boleh dinikahi. Firman Allah surat Almumtahanah: 1; “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”
Jumhur ulama fikih mengatakan hal yang senada, boleh kawin dengan perempuan ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam. Namun demikian, Syafi’i memberikan syarat lebih sempit lagi yaitu dibolehkannya hanya sebatas perempuan Yahudi dan Nasrani yang ada sebelum masa Nabi. Dan sekarang perempuan ahli kitab versi Syafi’i tidak akan kita temukan.
Pendapat Syafi’i ini ditentang oleh William E. Phipps, yang dikutip oleh Dewi Sukarti, mengatakan bahwa di dalam umat Kristen masih terdapat yang memanusiakan Isa dan mengakui bahwa trinitas hanya merupakan perdebatan teologi saja, karena sampai saat ini di Timur Tengah masih berdiri gereja Nestorian, yang sejalan dengan visi Nestorius, yang mengajarkan Kristenitas asli dan dan masih banyak lagi umat Kristen Liberal yang menganggap Isa itu manusia sempurna. Karena itu Hans Kung, seorang teolog Kristen berpendapat bahwa meski bias hellenistik yang memperdebatkan ketuhanan Isa dijadikan doktrin resmi gereja, namun rumusan lain yang semitik (yang memanusiakan manusia) juga harus dipandang sebagai alternatif yang diizinkan. Dengan demikian, umat Kristen saat ini tetap merupakan ahli kitab dan konsep muqayyad (pembatasan) kategorisasi ahli kitab pada masa (min qablikum) tidak tepat. Dan menurutnya pula, dalam tradisi ahli kitab, bukan hanya Ezra (Uzair) dan Jesus yang dijuluki putra Tuhan, orang orang saleh lainnya juga disebut “putra” Tuhan untuk menggambarkan kedekatan mereka dengan Tuhan lantaran kesalehan mereka.
Dalam menyikapi hal ini, Yusuf Qardhawi mengatakan, kebolehan itu (perkawinan dengan perempuan ahli kitab) akan gugur (haram) apabila seorang Muslim menjadi khawatir akan akidah anak-anaknya dengan keberadaan dan arahan istri semacam itu. Ia menambahkan keguguran itu disebabkan pula, apabila jumlah kaum Muslimin di suatu negeri sedikit. Maka dengan ini tidak memberi peluang kepada perempuan kaum Muslimin, atau menjadikan mereka, yang jumlahnya tidak sedikit makin tersia-siakan. Karenanya, ia jelas akan mendatangkan bencana bagi masyarakat Muslim.[21]
Seperti halnya Muhammad Syaltut—gugurnya kebolehan mengawini perempuan ahli kitab, yaitu karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam.[22] Hal ini sesuai dengan sabda Rasul; “Barang siapa yang pindah agama bunuh saja.” (HR Bukhari)
Atas dasar itulah, ulama menegaskan jika dengan pernikahan tersebut dikhawatirkan berdampak demikian, maka hukum pernikahan dengan ahli kitab adalah haram.
Alasan ini, juga diambil oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya tertanggal 1 Juni  1980 mengahramkan semua bentuk pernikahan lintas agama, termasuk pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan bukan Muslim, walaupun dari kalangan ahli kitab. Menurutnya, kerusakan (mafsadah)  yang ditimbulkan dari pernikahan lintas agama itu lebih besar daripada kebaikan (maslahat) yang didatangkannya, terutama bagi kaum Muslimin. Larangan pernikahan beda agama ini kemudian dilegalkan negara melalui UU Pernikahan no. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres no. 1 tahun 1991.
Namun menurut Siti Musdah Mulia, larangan ini lebih tepat dengan alasan karena kondisi obyektif di masyarakat menjelaskan bahwa perbedaan agama menjadi salah satu faktor bagi tingginya angka perceraian atau angka kekerasan di rumah tangga (domestic violence). Atau pernikahan lintas agama telah menjadi salah satu modus operandi kegiatan perdagangan dan anak-anak perempuan  (trafficking in women and children). Dengan begitu, alasan yang dipakai adalah mencegah meluasnya kerusakan sosial di masyarakat atau dalam istilah fikih disebut saddu aldzarai (tindakan preventif). Bukan seperti alasan yang telah dikemukakan di atas. Sebaliknya, kalaupun lintas agama dibolehkan, maka menurutnya, harus ada upaya-upaya sosialisasi yang luas di masyarakat mengenai dampak positif dan negatif dari perkawinan campur tersebut. Hal ini penting untuk menghindarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan, dari  berbagai tindak diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam pernikahan.
Bagi golongan Syi’ah Imamiyah dan Zaidiyah larangan tersebut sudah berharga mati tanpa adanya alasan yang konkrit. Mereka hanya berlandaskan pada tekstual Alquran.
 Apabila menilik pada Hadis Nabi, seperti hadis di bawah ini, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama dihukumi haram. Karena tujuan suatu rumah tangga ialah keinginan terciptanya keluarga yang sakinah atau harmonis dengan beberapa kriteria seseorang yang pantas untuk dijadikan pendamping hidup;

تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فالظفر بذات الدين تربت يداك
     
“Dikawini perempuan itu karena empat macam, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka ambillah perempuan yang beragama, engkau akan beruntung.” (HR Bukhari Muslim)
Nabi juga bersabda;

الدنيا متاع وخير متاعها المرأة الصالحة

“Dunia ini adalah kesenagan (perhiasan) dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah perempuan yang shalihah.” (HR Muslim)
Maksud dari Hadis kedua di atas, wanita shalihah adalah wanita yang benar-benar memegang dan menjaga agama Islam sebagai kehormatannya. Bukan sebaliknya, seperti yang diinterpretasikan para kaum liberalis dengan makna  orang yang bermoral.
           
A.3. Pandangan Ulama yang membolehkan Perkawinan laki-laki Muslim  dengan perempuan ahli kitab dengan mutlak

Dalam hal ini, sedikit sekali ulama yang membolehkan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita bukan Muslim dengan tanpa adanya persyaratan, yang menurut mereka, kebolehan itu harus melihat dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan tersebut, selain itu pula harus memiliki tujuan misi dakwah. Namun hal itu, dijawab oleh beberapa ulama mutaakhkhirin, bahwa kebolehan itu mutlak tanpa adanya persyaratan, sebagaimana yang tercantum dalam  dzahir ayat Alquran itu, dengan diikuti beberapa sejarah Nabi sendiri yang telah menikahi perempuan Yahudi yang bernama Sofiyah dan Mariyatul Qibtiyah yang beragama Nasrani, walaupun akhirnya kedua istri Nabi tersebut masuk Islam, demikian juga pernikahan para sahabat dan para tabiin. (penjelasan ini dapat dibaca pada bab selanjutnya).
Menurut Ibnu Mundzir, yang dikutip oleh Alghazali, “Tidaklah benar ada salah seorang sahabat yang mengharamkan kawin dengan perempuan ahli kitab.” Sedangkan jawaban Jabir tatkala ditanya tentang hukum kawin dengan perempuan ahli kitab, ia berkata: “Kami pada waktu penaklukan negeri Kuffah pernah menikah dengan golongan mereka itu bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqash.
Hadis lain yang juga menjadi sandaran para ulama yang membolehkan perkawinan dengan ahli kitab adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Hudzaifah pernah mengawini seorang perempuan Yahudi, kemudian Umar mengirim surat kepadanya yang (isinya) menyuruh agar Hudzaifah melepaskannya. Lalu Hudzaifah membalas surat Umar tersebut dengan  mengatakan: “Apakah engkau mengira bahwa mengawini dia itu haram, lalu engkau suruh aku untuk melepaskannya?” Umar menjawab: “Aku tidak menganggap haram, tetapi aku khawatir engkau mengawini pelacur dari kalangan mereka.[23]
Banyak dari para ulama yang berpendapat, bahwa selain agama Yahudi dan Nasrani bukan termasuk ahli kitab yang demikian itu berdampak dalam keharaman menikah dengan mereka.
Sedangkan Sayyid Muhammad Rasyid Ridho murid dari Muhammad Abduh malah makin memperluas makna ahli kitab kepada agama-agama selain dari agama Yahudi dan Nasrani sehingga tidak ada hukum haram menikahi mereka. Ia berdalih pada pembenaran Alquran terhadap mereka, yaitu setiap umat manusia di seluruh penjuru dunia pernah diutus para Rasul yang berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang benar. Selain itu juga, menurutnya, mereka tetap berpegang teguh kepada kitab-kitab samawi. Namun karena masanya telah terlalu lama dan jarak mereka dari utusan tersebut sangat jauh, maka kitab aslinya tidak dapat diketahui lagi.[24] Pendapat ini didasarkannya pada Firman Allah berikut;

  1. Surat Fathir: 24
وان من أمة الا خلا فيها نذير

                 “Dan tidak suatu umat pun melainkan telah ada pada
mereka seorang pemberi peringatan.” ( QS Fathir: 24)

  1. Surat Arra’ad: 7
انما أنت منذير ولكل قوم هاد

“Sesungguhnya kamu hanyalah  seorang pemberi peringatan dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS Arra’ad: 7)

  1. Surat Alhadid: 16

ولايكونوا كالذين أوتوا الكتاب من قبل فطال عليهم الأمد فقست قلوبهم وكثير منهم فسفون
“Dan janganlah seperti mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka, adalah orang-orang fasik.” (QS Alhadid: 16

  1. Surat Ghafir: 78  

ولقد أرسلنا رسلا من قبلك منهم من قصصنا عليك ومنهم من لم نقصص عليك

“Dan sesungguhnya telah kami utus beberapa Rasul sebelum kamu, di antara mereka, ada yang telah kami ceritakan kepadamu dan ada pula yang tidak kami ceritakan kepadamu.” (QS Ghafir: 78)

Namun pendapatnya ini, ia khususkan kepada laki-laki Muslim yang kuat imannya, seperti pendapat-pendapat ulama pada umumnya.
Pendapat Rasyid Ridho inilah yang kemudian menjadi pegangan para pakar hukum kontemporer Indonesia, seperti pendapat dari Zainul Kamal yang mengatakan, “Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahli kitab seringkali dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Nuryamin Aini,  “ahli kitab itu merupakan gambaran bagi orang yang tercerahkan. Artinya ketika dia bertindak, ada yang memandu mereka, berkat adanya ajaran yang dia yakini. Dia tidak grusa-grusu seperti orang musyrik yang jelas tidak punya acuan sehingga kaum musyrikin bermusuhan dengan siapapun. Oleh karena itu, bagi saya, ahli kitab itu tidak terpaku pada orang-orang yang secara konvensional dibatasi pada Yahudi dan Nasrani saja, tapi bagi siapapun yang punya cara pandang yang terarah, dan kemudian membuat mereka tidak bermusuhan dengan orang lain. Bagi saya, inilah gambaran ideal tentang orang yang secara maknawi bisa disebut sebagai orang-orang ahli kitab.”[25]
Dari pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa semua agama yang mempunyai kitab suci dikatakan ahli kitab. Akan tetapi menurut analisa penulis, apabila suatu waktu di masa yang akan datang terdapat agama baru dan mempunyai kitab suci yang disucikan oleh pemeluknya, maka secara otomatis mereka juga mengklaim bahwa diri mereka adalah termasuk bagian dari ahli kitab. Selain itu juga, para penganut kepercayaan dan kebatinan juga akan menuntut untuk diakui sebagai agama dan ahli kitab. Seperti seorang tokoh kebatinan Indonesia, Wongsonegoro, sebagai berikut:
“Agama dan kebatinan, kedua-duanya mempunyai unsure yang sama, yaitu satu panembah (Kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan budi luhur. Perbedaan hanya terdapat pada pemberian stress atau tekanan. Bagi agama, stresnya diberikan pada Panembah, serta kebatinan memberikan tekanan kepada tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup. Lagipula ide tentang Ketuhanan Yang maha Esa bukan monopoli agama-agama. Pengikut-pengikut gerakan kebatinan bukanlah orang-orang ateis, karena mereka semua percaya kepada Tuhan.” Di antara aliran kebatinan juga ada yang mempunyai “kitab” yang disucikan pengikutnya. Misalnya, kelompok “Pangestu” (Paguyuban Ngesti Tunggal) memiliki kitab suci yang bernama Sasangka Jati. Ada juga kitab Hidayat Jati, Darmo Gandul, dan sebagainya.[26]
 Karena itu, penulis lebih setuju bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah agama Yahudi dan Nasrani dimanapun dan kapanpun.

B.  Pandangan Ulama terhadap Hukum Pernikahan Perempuan Muslimah dengan Laki-laki bukan Muslim

Dalam masalah ini para ulama sepakat bahwa perempuan Muslimah haram menikah dengan laki-laki bukan Muslim. Mereka berpegang pada Alquran surat Albaqarah: 221, dan surat Almumtahanah: 10.
Almaraghi dalam mengomentari ayat ini berkata, bahwa menikahkan wanita Muslimah dengan laki-laki bukan Muslim adalah haram, berdasarkan hadis Nabi dan  ijma’ umat. Rahasia pelarangan ini, tulisnya lagi, ialah karena istri tidak punya wewenang seperti yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu tidak ada artinya ia kawin dengan bukan Muslim, bahkan sebaliknya, keyakinan istri dapat rusak oleh kebijakan suaminya, dan tidak mustahil pula seorang suami yang fanatik akan selalu berusaha agar istrinya menukar iman dengan keyakinan suami.[27]
Sedangkan Ashshabuni berpendapat sama dalam menafsirkan ayat tersebut, tetapi ia menambahkan bahwa seorang laki-laki Muslim tetap menghormati dan mengagungkan Nabi Musa dan Nabi Isa serta mempercayai kerasulan mereka dan mempercayai kitab Taurat dan Injil sebagai kitab-kitab yang diturunkan Allah, dan tentu saja laki-laki Muslim yang beristrikan perempuan Yahudi dan Nasrani i’tiqad-i’tiqadnya tersebut tidak akan mengganggu perasaan keimanan istrinya yang Yahudi dan Nasrani itu. Hal itu berbeda sekali situasinya apabila perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki bukan Muslim, ia (suami) tidak mempercayai kitab suci Alquran dan tidak mempercayai keRasulan Nabi Muhammad, maka hal ini tentu akan mengganggu perasaan istrinya yang Muslimah itu dan secara tidak langsung merupakan penghinaan atas keimanannya kepada agamanya.
Menurut Maulana Muhammad Ali mengawinkan perempuan Muslimah dengan pengikut agama lain, tidak disebut dengan tegas dalam Alquran, tetapi dalam praktek, orang-orang tidak menyetujui hal ini sejak zaman dulu. Landasan ijtihadnya, seorang perempuan Muslim yang kawin dengan laki-laki agama lain, akan merasa susah jika tinggal dalam keluarganya bukan orang Islam, karena mereka akan kehilangan hak yang mereka nikmati dalam masyarakat Islam. Sebab, sang suami akan berpengaruh terhadap statusnya sebagai Muslimah; biasanya istri mengikuti kepada suaminya.
Memang dalam Alquran tidak menjelaskan secara eksplisit tentang perkawinan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki yang bukan Islam, oleh karenanya ulama dan para ahli tafsir berpendapat bahwa tidak disitirnya masalah ini karena perkawinan semacam ini dilarang. Namun, menurut mayoritas ulama kontemporer, sebenarnya perempuan Muslimah bIsa dikawinkan dengan laki-laki bukan Muslim yang tidak memusuhi Islam. Ini berdasrkan sebuah atsar yang meriwayaatkan tentang perjodohan Siti Aisyah dengan putra Muth’im, seorang pelindung Muhammad dari suku Naufal.
Dalam hal ini—pernikahan antara perempuan muslimah dengan laki-laki bukan muslim—disepakati oleh para kaum liberalis mengatakan, bahwa kebolehan kawin antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab karena berpegang pada ‘illat (rasio-legis), yaitu bahwa laki-laki muslim boleh kawin dengan perempuan ahli kitab, karena menurut konteks zamannya bahwa bahwa yang dominan menentukan agama anak dan sebagainya adalah laki-laki, sekarang ini perempuan juga menetukan. Itulah salah satu konsekuensi dari ide ‘illat hukum. Orang menagkap ‘illat tidak akan menjadi dogmatis, malainkn melihat dulu bagaimana persoalannya, kemudian diselesaikan menurut persoalannya itu.
Hal yang sama diutarakan oleh Siti Musdah Mulia, Ulama yang melarang pernikahan lintas agama ini hanya dikarenakan oleh adanya pemahaman stereotype tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Namun ia menunjukkan sebuah penelitian yang mengungkapkan bahwa jika laki-laki Muslim menikah dengan perempuan bukan Muslim, maka 50% dari pasangan tersebut yang anak-anak mereka ikut agama bapaknya. Sebaliknya, jika perempuan Muslim menikah dengan laki-laki bukan Muslim maka hampir 80% dari pasangan tersebut yang anak-anaknya ikut agama ibunya.
Berbeda dengan Quraish Shihab, bahwa perkawinan antara laki-laki Muslim sudah menjadi perselisihan ulama tentang kebolehan atau keharaman menikah dengan mereka. Nah, menurutnya dalam menafsirkan pengglan ayat 221 dari surat Albaqarah, para wali dilarang menikahkan wanita-wanita Muslimah dengan orang-orang musyrik. Sebab larangan tersebut, menurut ayat itu, berlanjut hingga mereka beriman seperti iman yang dibenarkan Islam.
Sedang  yang tercantum dalam ayat 10  surat Almumtahanah, pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki bukan Muslim akan terputus jika suaminya tidak mau masuk Islam. Karena secara dzahir ayat tersebut wanita yang sudah Muslimah tidak boleh dikembalikan lagi kepada suaminya yang masih dalam keadaan kafir. Namun berbeda lagi, jika melihat hadis riwayat  Imam Malik;

“Malik meriwayatkan dari Ibn Shihab bahwa ia mendengar bahwa pada masa Rasulullah Saw, beberapa wanita menjadi Muslim di negeri mereka dan mereka tidak melakukan hijrah sedangkan suami-suami mereka masih kafir meskipun mereka sendiri telah menjadi Muslim. Di antara mereka adalah putri Alwalid ibn Almughirah, istri Shafwan bin Umayyah. Dia menjadi Muslim pada hari penaklukkan Mekkah (fathu Mekkah), dan suaminya, Shafwan bin Umayyah tidak mau memeluk Islam. Rasululullah Saw mengutus sepupu Shafwan dari pihak bapak, Wahb bin Umayr dengan membawa jubah Rasulullah untuk Shafwan bin Umayyah, dan Rasulullah Saw mengajaknya kepada Islam dan memintanya untuk menemuinya dan jika ia senang untuk menerima ajakan ini. Jika tidak ia kenakan masa iddah 2 bulan. Ketika Shafwan mendatangi Rasulullah dengan jubahnya, ia memanggilnya dengan keras, “Muhammad! Wahb bin Umayr membawa jubahmu kepadaku dan mengaku bahwa anda telah memanggilku untuk datang padamu  dan jika saya senang saya terima dan jika tidak, anda akan memberi saya masa iddah 2 bulan.” Rasulullah berkata, “Tenanglah Abu Wahab.” Ia berkata, “Tidak demi Allah! Saya tidak akan tenang sampai anda menjelaskannya padaku.” Rasulullah berkata, “Kamu punya masa iddah 4 bulan.” Rasulullah keluar ke arah Hawazin di Hunayn. Ia mengirim kepada Shafwan ibn Umayyah untuk meminjam beberapa perlengkapan dan senjata yang ia punyai. Shafwan berkata, “Suka atau tidak?” ia berkata, “Suka.” Karena itu ia meminjaminya perlengkapan dan senjata yang ia punya. Kemudian Shafwan keluar bersama Rasulullah, sedangkan ia masih seorang kafir. Dia ada di peperangan Hunayn dan Attaif  sedangkan ia masih seorang kafir dan istrinya seorang Muslim. Rasulullah tidak memisahkan Shafwan dan istrinya sampai ia menjadi Muslim, dan istrinya tinggal bersamanya dengan pernikahan itu. (kitab Almuwatta’)

Kemudian juga hadis riwayat Yahya, yang tampaknya menambahkan hadis riwayat Malik di atas.

“Yahya meriwayatkan dari Malik bahwaIbnu Shihab berkata, “Antara Islam Shafwan dan Islam istrinya ada sekitar 1 bulan.” Ibnu Shihab berkata, “Kami tidak mendengartentang wanita yang melakukan hijrah karena Allah dan Rasul-Nya sedangkan suaminya adalah seorang kafir tetap tinggal di negeri kufr, tetapi bahwa hijrahnya menceraikan dia dan suaminya kecuali kalau suaminya ikut hijrah sebelum masa iddah selesai.”

Berdasarkan kedua Hadis di atas, perkawinan antara perempuan Muslimah dan laki-laki bukan Muslim, otomatis perkawinan mereka terputus dan diberlakukan masa iddah 4 bulan, tetapi jika masa iddah belum berakhir  kemudian suami masuk Islam, maka perkawinan mereka tetap sah. Dari kenyataan historis Hadis pertama itu, Shafwan dan istrinya tetap dalam pernikahan (walaupun dibantah oleh Hadis yang kedua), itu karena Shafwan memiliki karakter yang baik.
Akan tetapi melihat pendapat para pemikir liberal, penulis tidak sependapat, sebab di dalam suatu pernikahan syarat yang sah menurut hukum Islam adalah dalam akad nikah calon mempelai pria harus beragama Islam.







 

 

 

 








 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V


ANALISIS HUKUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA
SEBAGAI FENOMENA SOSIAL HISTORIS

            Perkawinan beda agama merupakan fenomena sosial dan kenyataan historis yang berlangsung mulai zaman dahulu, pada masa Rasulullah. Menurut sebagian pendapat bahwa Nabi juga pernah melakukan hal semacam ini, yaitu menikah dengan Sofia yang beragama Yahudi dan Mariyatul Qibtiyah yang beragama Nasrani. Namun, ini tidak bisa dijadikan argumen, sebab keduanya sebelum menikah dengan Rasulullah sudah masuk Islam terlebih dahulu. Dan kenyataannya tidak ditemukan literatur yang menyatakan bahwa pernikahan Nabi itu dilakukan sebelum istrinya yang disebut di atas masuk Islam.
            Namun, apabila disandarkan pada atsar sahabat yang pernah melakukan pernikahan beda agama tersebut, misalnya Hudzaifah. Umar menyarankan agar Hudzaifah menceraikan istrinya, tetapi Hudzaifah malah bertanya, “Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya haram? Umar bin Khattab tidak menjawab, malah kembali mengulangi sarannya, tetapi Hudzaifah kembali bertanya, “Maukah engkau menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab hukumnya haram?” setelah ini baru Khalifah Umar mengemukakan alasannya, “Ia akan menjadi fitnah. Ceraikanlah!” tetapi Hudzaifah kembali menanyakan hal yang sama, “Maukah engkau menjadi saksi bahwa ia adalah haram?” umar kembali menjawab, ia adalah fitnah,”yang direspon oleh Hudzaifah, “Aku tahu itu fitnah, tetapi ia halal bagiku.” Meski pada akhirnya Hudzaifah dan istrinya yang ahli kitab itu bercerai, tetapi itu mungkin bukan karena saran Khalifah Umar bin Khattab. Yang diriwayatkan adalah, dan ini tidak boleh dianggap realitas jika ingin menelanjangi teks dalam rangka strategi kebudayaan masa depan, bahwa Hudzaifah menceraikan istrinya itu karena tidak ingin diketahui telah melakukan hal yang tidak layak.
            Beberapa orang sahabat, di antaranya Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Usman bin Affan kawin dengan Bailah binti Quraqashah Alkalbiyah beragama Nasrani, ibn Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, Almughirah bin Syu’bah kawin dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Kemudian dari para tabiin yang membolehkan kawin seperti Said AlMusayyib, Said bin Jabir, Alhasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah Alsya’bi Aldahak, dan para ahli hukum mutaakhkhirin.[28]
            Dan terakhir ini aktivis YISC, Ahmad Nurchalish juga melakukan perkawinan beda agama dengan Ah Mei Yong perempuan agama Konghucu. Jika kita melihat realitas sekarang, banyak dari masyarakat serta para selebritis khususnya juga melakukan perkawinan campur ini, misalnya Jamal Mirdad dengan Lidya Kandaw, Nurul Arifin dengan Mayong Laksono, Ari Sigit dengan Rica Callebut, Nia zulkarnain dengan Ari Sihasale,Ina Indayati dengan Jeremy Thomas, Frans Lingua dengan Amara, dan Yuni Shara dengan Henri Sihaan. Dan kebanyakan dari mereka merasakan hidup tentram dengan perkawinan beda agama. Contoh lain adalah Yaser Arafat, pemimpin PLO Palestina, juga menikah dengan seorang wanita Kristen. Dan dosen-dosen di Universitas al-Azhar Mesir banyak yang menikah dengan perempuan non-Islam.
Kalau kita mendengar komentar Emilia Contessa yang Muslimah dengan Rio Tambunan seorang Kristen, kita pasti berpendapat yang sama, “…omong kosong kalau ada dua orang yang berbeda agama menikah keduanya menjalankan agamanya dengan baik, tidak menghadapi masalah rumah tangga, tidak mungkin itu.” [29]
            Dan menurut pengamatan penulis, karena penulis mempunyai tetangga yang menikah beda agama, perkawinan mereka mengalami kegagalan dengan akhir perceraian, sebab suaminya yang beragama Kristen mengajak istrinya yang Muslimah untuk pindah agamanya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh KH Abdullah Wasi’an, seorang kristolog. Menurutnya pernikahan lintas agama merupakan salah satu program Kristenisasi. Hal ini tertuang dalam Oriented Pertama pasal 7 ada bahasan nikah antar agama untuk mengajak Muslim agar masuk agama mereka. Karena bertujuan untuk pemurtadan umat Islam, Muslimat NU meminta ketegasan pemerintah untuk melarang perkaawinan antarpasangan beda agama sebagai langkah preventif pemurtadan dan kehancuran perkawinan.[30]
            “Pernikahan seperti itu sering dijadikan kedok untuk mengajak pasangan suami atau istri menjadi Kristen.” Kata Sanihu Munir, Direktur Yayasan Mitra Centre. Selama mengasuh konsultasi di yayasan ini, ia banyak mendapatkan banyak fakta bahwa di Kendari telah terjadi Kristenisasi dengan modus operandi perkawinan campur.[31]




 

 

 










 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VI


ANALISA PENULIS

            Perkawinan lintas agama bukanlah sesuatu yang harus  dirahasiakan, karena masalah ini sudah menjadi fenomena sosial historis sejak zaman dahulu, masa Rasulullah. Para sahabat pun banyak yang melakukan hal yang serupa dikarenakan sudah ada nash Alquran yang membolehkan perkawinan lintas agama tersebut, yaitu surat Almaidah ayat 5. Namun, sebelum kita terlanjur melakukannya perlu adanya pertimbangan secara masak terlebih dahulu dengan menganalisis aspek istimbath hukum Islam melalui metodologi ushul fiqh dan dampak sosial yang akan ditimbulkannya, baik dari segi maslahat dan mafsadatnya.
            Pertama, dari segi dalil Alquran. Dalam Alquran sudah jelas bahwa diharamkan menikah antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrikah selain agama Nasrani dan Yahudi. Hukum ini diperkuat pula dengan dalil hadis yang menyatakan bahwa orang yang beragama Majusi diperintahkan oleh Nabi untuk diperlaukan yang sama dengan ahlul kitab. Dengan demikian selain agama samawi—Nasrani dan Yahudi—dilarang untuk dinikahi, karena  tidak ada dalil hadis ataupun atsar yang membolehkan menikahi mereka. Sama halnya haram menikahi perempuan Shabiun, sebab belum jelas keberadaan mereka benar-benar berpedoman kepada suhuf Nabi Ibrahim. Dan lebih-lebih, menikahi perempuan yang beragama ardli, seperti hindu, budha, dan lain sebagainya, jelas ini sudah melewati batas yang telah Allah tetapkan.
Keharaman ini berlaku bagi laki-laki muslim menikah dengan perempuan non muslimah yang bukan beragama samawi. Sedangkan bagi perempuan muslimah menikah dengan laki-laki musyrik meskipun beragama samawi dengan bentuk keharaman yang bersifat mutlak. Dengan demikian, jika hal tersebut dilanggar maka status perkawinan antara keduanya—perkawinan antaragama ini—jelas tidak sah atau batal. Jika tersebut tetap dilanjutkan, maka hukum dari status perkawinan bagi yang melakukannya adalah disamakan dengan hukum zina.
            Sedangkan, kontroversi hukum perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan yang beragama samawi yaitu Nasrani dan Yahudi kesemuanya berdalih pada nash-nash Alquran. Adapun yang tidak membolehkan perkawinan semacam ini lebih mengedepankan nash Alquran dari surat Albaqarah: 221, dan surat Almumtahanah: 10. Berikut petikan ayat 221 surat Albaqarah:

ولا تنكحوا المشركت حتى يؤمن وللأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولاتنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة والمغفرة باذنه ويبين أيته للناس لعلهم يتذكرون

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita-wanita musyrik walaupun ia (wanita-wanita musyrik) lebih menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya laki-laki budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun ia lebih menarik hatimu.(karena) mereka menyeru ke neraka, sedangkan Allah menyeru ke surga dan keampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat (perintah-perintah)-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Albaqarah: 221)

يايهاالذين امنوا اذا جائكم المؤمنت مهجرت فامتحنوهن الله اعلم بايمانهن فان علمتموهن مؤمنت فلاترجعوهن الى الكفار لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهن

“Hai orang-orang yang beriman apabila berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui tentang keimanan mereka bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan suami-suami  kafir itu tidak halal bagi mereka.” (QS Almumtahanah: 10)
           
Namun, dari kedua nash Alquran sangat kontras pertentangannya dengan dalil yang dipegang oleh ulama yang membolehkannya, yaitu firman Allah dalam surat Almaidah: 5, yaitu;

اليوم احل لكم الطيبت وطعام الذين أوتوا الكتب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنت من المؤمنت والمحصنت من الذين اوتوا الكتب من قبلكم اذا اتيتموهن اجورهن محصنين غير مسافحين ولامتخذي اخدان ومن يكفر با لأيمان فقد حبط عمله وهو في الأخرة من الخسرين

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka; (dan dihalalkan bagimu, mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka, tidak bermaksud berzina dan tidak pula menjadikan mereka gundik-gundik. Barang siapa kafir setelah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Almaidah: 5)
  
Jika dilihat secara seksama dari ketiga ayat di atas yang menerangkan tentang hukum perkawinan antaragama samawi terdapat perbedaan yang begitu mencolok, namun kita dapat menarik benang merahnya dengan menggunakan pendeatan ushul fiqh.
Dalam ushul fiqh terdapat metode ’aam dan khash. Lafaz ’aam dari dalil itu adalah keharaman menikahi perempuan musyrikah dan kafir. Sudah kita ketahui bahwa definisi musyrik adalah menyekutukan Allah dengan sesuatu. Orang nasrani dan Yahudi pun bisa dikategorikan kepada orang musyrik meskipun mereka tetap mempercayai Allah sebagai Tuhan pencipta semesta alam, dan musyrik karena mereka menyekutukan Allah dengan menuhankan Isa Almasih, begitu pula dengan orang yang beragama Yahudi.
Demikian juga, mereka dapat dikategorikan orang kafir karena pengingkaran mereka terhadap eksistensi Tuhan. Hal ini digambarkan dalam Alquran Surat Hud: 60; pengingkaran terhadap  Keesaan Allah, sebagaimana dijelaskan dalm surat Almaidah: 73; pengingkaran kitab Allah (Alquran) seperti tercantum dalam surat Alfushshilat: 41; pengingkari keNabian, seperti tercantum dalam surat Alqamar: 13-14 dan surat Saba’: 34.
Lalu, keharaman dari kedua ayat di atas ditakhsis dengan surat Almaidah ayat 5 yang membolehkan mengawini perempuan ahli kitab—agama Nasrani dan agama Yahudi meski kedua agama tersebut sudah tercampuroleh tangan manusia, tetapi secara teologi mereka tetap sama dengan agama Islam yaitu masih sama-sama menyembah Allah—yang baik-baik dan sekiranya antara keduanya ada rasa saling toleransi serta tidak ada yang misi pemurtadan.
Selain itu juga, apabila laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan yang beragama samawi, lalu bagaimanakah tindakan hukum bagi para sahabat yang melakukan hal itu? Sedangkan, apabila kita merujuk pada pendapat imam Syafi’i atas keharaman pernikahan antaragama tersebut dengan dalih pada masa sekarang tidak akan pernah ditemukan seorang perempuan yang ahli kitab, maka sekali lagi salahkah tindakan yang dilakukan oleh para sahabat itu? Dan kita ketahui pula bahwa, pengkultusan Nabi Isa menjadi Tuhan oleh para pengikutnya itu terjadi sekitar pada tahun ke 325 Masehi, sedangkan keutusan Nabi Muhammad jatuh pada tahun ke 571 Masehi, lalu apakah perkawinan sahabat dengan perempuan ahli kitab itu juga haram hukumnya?
Karena itu, yang perlu digarisbawahi di sini adalah dampak tindakan hukum haram menikah dengan perempuan ahli kitab, yaitu dapat digolongkan menjadi sebuah pelanggaran berbuat dosa zina bagi pelaku kawin campur tersebut. Sebab, keharaman pernikahan yang dilakukan itu menjadi tindakan hukum batal atau tidak sah. Kemudian, apakah para sahabat yang pernah melakukan perkawinan semacam ini juga akan merima tindakan hukum zina yaitu kewajiban untuk dirajam? Padahal—menurut penulis—mereka lebih mengetahui bagaimana hakikat dan sebab dan akibat hukum dari apa yang mereka lakukan.
Kedua, dari segi dampak dari perkawinan lintas agama itu—khususnya perkawinan antar agama samawi, bukan selain agama samawi yang jelas keharamannya. Sebab, sepengetahuan penulis melihat realita yang ada di sekitar kampung halaman penulis, dampak yang diperoleh lebih banyak mafsadatnya daripada maslahatnya.
            Dari segi maslahat, perkawinan ini akan memberikan kesan bahwa Islam adalah agama yang sangat toleransi kepada pemeluk agama lain, karena dalam prinsip Islam yang diutamakan adalah sebagai ramatan lil ‘alamin. Selain itu, pasangan beda agama tersebut bisa memperlihatkan bagi pasangannya tentang keindahan dan kepribadian ajaran Islam sebagai misi dakwah islamiyah.
Akan tetapi, setelah melihat beberapa asbabun nuzul dari turunnya surat Alamaidah ayat 5 tersebut, bahwa sisi maslahat yang tampak adalah jika dalam suatu kaum tersebut yang memegang kendali kepemerintahan tersebut adalah umat Islam dengan kata lain berada dalam darul Islam, seperti pada masa Rasulullah di kota Madinah. Sisi lain, pada saat itu pula yang berkembang bahwa dalam suatu rumah tangga yang memegang kepemimpinan adalah seorang suami, sebagaimana yang dicantumkan dalam Alquran bahwa arrijalu qawwamuna ‘alAnnisa’  (seorang lelaki adalah pemimpin dari seorang perempuan).
Dan para ulama memberikan batasan, bahwa yang boleh dalam perkawinan lintas agama adalah seorang laki-laki Muslim dengan wanita bukan Muslim (ahli kitab).
Sedang bagi wanita Muslimah, jumhur ulama tetap mengharamkannya dengan alasan seperti di atas. Selain itu syarat dibolehkannya itu bagi laki-laki Muslim yang kuat imannya. Jika sebaliknya, maka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut.
Adapun alasan dilarangnya pernikahan dengan agama samawi ini adalah pertama adanya jalan untuk pemurtadan. Jika kita melihat realita pada saat  ini, banyak sekali orang-orang yang melakukan misi pemurtadan yang dilakukan oleh misionaris, dan orang tersebut biasa dikatakan denngan kafir harbi bukan kafir dzimmi, sedang Nabi  sangat mengecam adanya pemurtadan ini, dalam sabdanya dikatakan, “Barang siapa pindah agama , bunuh saja!”.
Misi itu disebabkan oleh kepemerintahan negara tidak berada di tangan umat Islam. Jadi, seseorang yang akan mengadakan perkawinan lintas agama diperbolehkan karena pada masa itu, karena agama selain dari Islam yang berada dalam kepemerintahan Islam. Selain itu, pada masa itu juga adalah masa yang sering terjadi peperangan, dan tidak mungkin mereka kembali kepada keluarganya, maka cara yang ditempuh pada saat itu adalah mengawini wanita yang beda agama. Dan kejadian itu tidak berselang lama dalam proses kebolehannya.
            Kedua, alasannya adalah memang bisa dikatakan benar pendapat yang mengatakan bahwa jika laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan bukan muslim, dapat mempengaruhi istri dan anak-anaknya. Karena ia mempunyai wewenang penuh di dalam rumah tangga. Namun, pada kenyataannya dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa yang dominan mempengaruhi anak-anaknya adalah isrtinya bukan dari suami. Karena wacana yang berkembang pada saat ini adalah kesetaraan posisi antara suami dan istri dalam rumah tangga.
            Ketiga, tujuan dari dilangsungkannya pernikahan adalah untuk mencapai rumah tangga yang sakinah dengan melahirkan anak-anak yang shalih. Sedangkan dalam perkawunan campur ini, apakah dapat menjamin akan terbentuknya keluarga yang sakinah? Dan apakah kelak anaknya bisa menjadi anak yang diharapkan akan meneruskan perjuangan Islam sebagai anak yang shalih? Realita menjawab, perkawinan campur ini akan malah berdampak pada ketidakharmonisan keluarga karena masing-masing pasangan tidak dapat mengamalkan Islam secara mendalam (komprehensif), dan juga bIsa menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, terdapat operandi trafficking anak dan wanita, yang tak kalah pentingnya lagi adalah membuat anak kebingungan dalam memilih agama yang akan dianutnya. Dan sangat sayang sekali, apabila anak itu akan mengikuti agama orang tuanya yang bukan Islam. Dengan ini generasi Islam akan hilang. Hadis riwayat Abu Dawud dikatakan, “Seiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang menYahudikan atau yang mengkristenkan atau pula meMajusikannya.”
            Keempat, kebolehan perkawinan lintas agama ini, karena pada masa itu jumlah perempuan Muslim sedikit sekali, sedangkan sekarang jika dibuat perbandingan, maka jumlah perempuan 12 banding dengan 1 laki-laki. Ini tidak realistis apabila perkawinan campur tetap ada. Sebab secara tidak langsung mereka sudah menganiaya perempuan Islam dengan tidak mengawininya.
            Kelima, salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt serta mencari keridloan-Nya. Sedangkan dengan menikah beda agama ini tujuan dari pernikahan tersebut sulit untuk dilaksanakan. Dan mereka (orang-orang bukan Muslim) pada umumnya, seperti yang terekam dalam Alquran, tidak akan rela jika keluarganya tidak masuk pada agamanya. Selain itu juga, Alquran memperingatkan bahwa mereka juga akan mengajak orang-orang beriman ke dalam api neraka.
            Jadi, melihat analisis tersebut, baik dari segi hukum Islam dan dampak mafsadah pernikahan beda agama samawi ini, maka hukumnya—bagi penulis—adalah diperinci menjadi dua hukum. Pertama, hukumnya adalah boleh sebagai hukum asal dengan syarat apabila si suami dapat mengajarkan keindahan ajaran Islam. Kedua, makruh hukumnya apabila tidak ada tambahan nilai di dalam perkawinan tersebut. Dan ketiga adalah haram hukumnya apabila   dampak mafsadahnya lebih banyak daripada dampak maslahatnya, seperti jelas adanya misi pemurtadan. Dalam kaidah ushul fikih dijelaskan bahwa, dar’u almafasid muqaddamun ala jalbi almashalih (menghindari yang buruk lebih utama daripada mengambil manfaat).
            Jadi, hukum pernikahan lintas agama ini secara garis besar—menurut penulis—dibagi tiga. Pertama, boleh, hukum asal menikah dengan perempuan ahli kitab jikalau suami dapat menjadi pemimpin rumahtangga yang bertanggungjawab kelak di hadapan Allah SWT. Kedua, makruh jika tidak ada tambahan nilai ibadah dalam perkawinan itu. Dan ketiga adalah haram menikah dengan perempuan beragama samawi jika dilihat banyak mafsadahnya daripada maslahatnya, haram pula perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan selain ahli kitab—Yahudi dan Nasrani, dan haram pernikahan antara perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim, baik dari ahli kitab maupun bukan ahli kitab.
















 

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VII


PENUTUP


Selesai sudah pembahasan perkawinan lintas agama ini, yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat ulama, baik itu pendapat yang pro dan kontra terhadap perkawinan campur tersebut. Sebab yang menjadi bahasan utama sehingga memunculkan pendapat yang kontroversi ini adalah dari redaksi bahasa Alquran mengenai terma-terma muyrik dan kafir.
Pendapat yang membolehkan perkawinan beda agama mempunyai alasan bahwa terma-terma musyrik yang terdapat dalam Alquran yang menjadi dasar larangan perkawinan tersebut adalah orang-orang Arab masa lalu, sedang pada saat ini tidaklah kita temukan apa yang dimaksud dengan terma musyrik menurut pendapat ini. Jadi agama apa pun yang ada pada sat ini bukanlah termasuk dari terma muysrik.
Ada pula yang mengatakan bahwa yang tidak termasuk dari orang-orang musyrik adalah hanya sebatas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang biasa kita kenal dengan istilah ahli kitab.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman yang terkadang menuntut adanya perkawinan campur ini, maka hal tersebut diperbolehkan dengan syarat harus memenuhi ketentuan yang telah disyaratkan oleh para pakar hukum Islam. Karena menurut pendapat ini hukum yang dikeluarkan ulama hanyalah bersifat ijtihad, maka bisa ada kemungkinan bahwa hukum tersebut bisa berubah asalkan masih ada dasar yang disandarkannya yaitu melalui sumber utama hukum Islam; Alquran dan hadis. Dari kedua sumber hukum Islam tersebut akan bermunculan berbagai penafsiran yang berbeda-beda.
Nah, dari ini kita tidak boleh menyalahkan suatu pendapat orang yang menurut kita tidak sesuai dengan doktrin agama. Akan tetapi mulai dari sekarang, marilah kita belajar untuk mengkaji apa pun masalah yang bersangkutan dengan hukum yang bersumber pada hukum utama Islam dengan pendekatan metodologi dan dikolaborasi pula pada pendapat akal untuk mencapai suatu kemaslahatan umat. Karena Islam adalah agama untuk semua elemen, bukan hanya untuk umat Islam sendiri. Agama Islam adalah agama yang mengandung prinsip rahmatan lil alamin bagi seluruh umat di alam jagat raya ini.
Sebagai penutup, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca semuanya terutama bagi penulis sendiri, dan segala sesuatu yang salah pada buku ini adalah bersumber dari penulis yang merupakan insan yang tak pernah luput dari  kata salah dan lupa. Allahu A’lam.


















DAFTAR RUJUKAN



Rujukan Buku dan Kitab

Alghazali, 2002. Benang Tipis antara Halal dan Haram, Surabaya, Putra Pelajar.

Alhazmi Almaqaddi, Faidlullah, 1995. fathu Alrahman Ijthalabi ayat Alquran, beirut, Daar Alfikr.

Almaraghi, 1974. Tafsir Almaraghi, juz 2, Beirut, Dar Alfikr,  cet. 3.
Alquran dan Terjemahnya.

Alqardhawi, Yusuf, 1994. Alijtihad Almu’ashir baina Alindilbaath wa Alinfirath, Kairo, Daar Attauzii’ wan Nasyr Alislaamiyah.

Alqardhawi, Yusuf, 2003. Alhalal wal Haram fil Islam, terj. Wahid Ahmadi, Halal Haram dalam Islam, Solo, Era Intermedia.

Ashshabuni, Ali, 1985. Tafsir Ayat ahkam Ashshabuni, terj. Muammal Hamidy dan Imron A. Mannan, Surabaya, Bina Ilmu.

Asmuni, Mohammad, 2004. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta, Darussalam.

Aqil Siroj, Said, 2006. Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Bandung, Mizan.

Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’i, Solusi Qurani atas Masalah Sosial Kontemporer, 2001. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

HAMKA, 2000. Tafsir Alazhar, juz II, Jakarta, Pustaka Panjimas.

Hasan, M. Ali, 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta, Prenada Media.

Husaini, Adian dan Hidayat, Nuim, 2002. Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi, penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press.
Muhammad Aljamal, Ibrahim, 1991. Fiqh Wanita Islam, Jakarta, Pustaka Panji Mas.

Nurcholish, Ahmad, 2004. Memoar Cintaku, Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, Yogyakarta: Lkis.

Sabiq, Alsayyid, 1977. Fiqh AlSunnah, jld. 2, Bairut, Dar Alkitab Alarabi.

Shihab, M. Quraish, 2005. Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan, cet. 16.

Shihab, M. Quraish, 2007.Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, cet. 31.

Shihab, M. Quraish, (Ed.), 1997. Ensiklopedi Alquran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya,  Jakarta, Bimantara.

Shihab, M. Quraish, 2006.  Tafsir Almisbah, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta, Lentera Hati.

Sukarti, Dewi, 2003. Perkawinan Antaragama Menurut Alquran dan Hadis, Jakarta, PBB UIN.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengermbangan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.


Rujukan Media Elektronik dan Media Cetak
            www. dialog@republika.co.id
            www.islamlib.com
Majalah, Tempo.
Tabloid,  Jumat, edisi 12 September 2003.
Majalah, Hidayatullah, edisi Agustus 2002.


[1] Tim Penyusun Kamus Pusat dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesiai, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), cet. 16, hlm.191.
[3] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 11.
[4] Alghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya: Putra Pelajar, 2002), hlm. 171. Bandingkan dengan Ibrahim Muhammad Aljamal, Fiqh wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), hlm. 15.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. 31, hlm. 257.
[6] Alghazali, Benang Tipis antara…, hlm. 171.
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran…, hlm. 257.
[8] Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 390.
[9] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup…, hlm. 19.
[10] Faidullah Alhasmi Almuqaddasi, Fathur Rahman Ijthalabi Ayat Alquran, (Beirut: Dar Alfikr, 1995), hlm. 43; Dewi Sukarti,  Perkawinan Antaragama Menurut Alquran dan Hadis, (Jakarta: PBB UIN, 2003), hlm. 6-7; M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran…, hlm. 348.  Ia menambahkan bahwa ada beberapa kata yang menunjukkan persamaan dengan ahl kitab yaitu kata utu alkitab 18 kali, utu nashiban minal kitab 3 kali, alladina hadu 10 kali, dan Bani atau Banu Israil 41 kali.
[11] Mohammad Asmuni, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam,2004), hlm. 136.
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran…, hlm. 368. 
[13] Mohammad Asmuni, Nikah dalam…, hlm. 137.
[14] Pernyataan bin Baz ini dikutip oleh Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi, Penimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. 1, hlm. 64-66.
[16] Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku, Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama. Dalam Zainul Kamal,  Kawin Antar Umat beragama, (Yogyakarta: Lkis, 2004), hlm. 152.
[17] M. Quraish Shihab (Ed.), Ensiklopedi alquran: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta: Bimantara, 1997), hlm. 189.
[18] Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fikh Rakyat, Pertautan Fikh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: Lkis, 2000), hlm. 189.
[19] Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku…, dalam Siti Musdah Mulia,  Menafsir Ulang Pernikahan Lintas agama, , hlm. 191.
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Almisbah, Kesan dan Keserasian Alquran, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet. 7, hlm. 31-32.
[21] Yusuf Qardhawi, Alhalal wal Haram fil Islam, terj. Wahid Ahmadi,  Halal Haram dalam Islam, ( Solo: Era Intermedia, 2003), cet. 3, hlm. 262-263.
[22] HAMKA, Tafsir Alazhar, juz II, ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), hlm. 198. Kebolehannya itu (perkawinan dengan perempuan bukan islam) dikarenakan adanya persamaan teologis.
[23] Ali Ashshabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ashshabuni, terj. Muammal Hamidy dan Imron A. Mannan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hlm. 233.
[24] Nasruddin Baidan, Tafsir Maudhu'i, Solusi qur'ani atas Masalah Sosial kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 34.
[26] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal…, hlm. 62-63.
[27] Almaraghi, Tafsir Almaraghi, juz 2, (Beirut: Dar Alfikr, 1974), hlm.153.
[28] Alsayyid Sabiq, Fiqh Alsunnah, jilid 2, (Beirut: Dar Alkitab Alarabi, 1977), hlm. 101.
[29] Majalah Tempo, hlm. 58.
[30] Tabloid Jumat, Edisi 12, September 2003.
[31] Majalah Hidayatullah, Edisi Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar